Minggu, 01 Maret 2009

Merumuskan Metode Pembelajaran yang Berbasis Budaya (Kearifan Lokal) dan Agama sebagai Strategi Meningkatkan Moralitas Anak Didik

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai dari pendidikannya. Pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia yang andal apalagi menciptakan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang berkepanjangan ini, diyakini banyak kalangan, akibat gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga, merosotnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Developmnent Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini.
Kenyataan di atas tidak terlepas dari ruwetnya sistem pendidikan di Indonesia. Keruwetan ini tampak dari belum adanya flat-form fundamental yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan program pendidikan. Masih banyak pernyataan (gagasan) yang bersifat instant dan tanpa konsep dijadikan dasar pengembangan pendidikan. Belum ada formula yang berhasil diciptakan untuk mengatasi keruwetan tersebut, karena banyak yang tidak menyadari bahwa untuk mengurai keruwetan itu sendiri harus menemukan ujung pangkalnya. Maka jadilah persoalan dalam dunia pendidikan kita semakin menyerupai jalinan benang kusut.
Untuk menentukan visi pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek , maka perlu direnungkan kembali aspek filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsapat pendidikan diyakini dapat menetukan arah pendidikan suatu bangsa. Jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsapat pendidikannya.
Belum lagi masalah dekadensi moral dikalangan pelajar yang sudah semakin menghawatirkan. Kenakalan remaja, penganiyaan, geng motor, terlibat psikotrapika dll. Hal ini menggambarkan konsep pendidikan yang dilaksanakan masih belum optimal
Bangsa Indonesia, sebenarnya telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari perilaku kehidupannya; namun demikian formulasi dari nilai-nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsapat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus dicari untuk ditemukan . Meskipun sangat sukar merumuskan filsapat pendidikan nasional Indonesia yang tepat, namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia ke depan.
Pertama, konsep manusia. Pertanyaan “siapakah manusia itu?”, telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah bisa dijawab secara final. Para teolog, fiosof, psikolog, dan saintis lainnya terus mencari jawab atas pertanyaan tersebut, tetapi semakin banyak pertanyaan diajukan tentang siapa manusia itu?, maka semakin kelihatan betapa luasnya pengetahuan yang masih terpendam tentang diri manusia itu sendiri. Manusia sebagai sebuah misteri.
Aristoteles (384-322 SM), seorang filsup besar Yunani Kuno, mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal fikirannya (the animal that reasons). Sementara Mulder (seorang sarjana Protestan), manusia adalah mahluk yang berakal, akallah yang merupakan perbedaan pokok diantara manuisa dan binatang; akallah yang menjadi dasar dari segala kebudayaan.
Berbeda dengan konsepsi para filosof dan ilmuwan di atas, dalam konsep islam, manusia terdiri dari tiga unsur, tubuh, hayat, dan jiwa (Maksum, 2004:230). Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat berarti hidup, dan jika tubuh mati, maka kehidupan pun berakhir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Menurut filosof islam, pada binatang dan tumbuh-tumbuhan ada juga jiwa. Tetapi eksistensi jiwa disini terikat dengan tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu, jika makhluk itu mati, jiwa pun ikut hancur.
Lebih terinci lagi, Alqur’an menyebut manusia dengan menggunakan tiga kategori: pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar) pada hakekatnya terdiri dari struktur organ-organ fisik (QS. Al-Hijr/15:28; Al-Tin/95:4). Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah (QS. Al-Rum/30: 30), qalb (QS. Al-Hajj/22: 46), dan akal (QS. Ali Imran/3: 190-191). Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya yang berbeda dengan makhluk lainnya (QS. Al-Isra/17: 70). Tetapi bila potensi rohani dan akal tersebut tidak digunakan, maka manusia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina (QS. Al-A'raf/7: 179; QS. Al-Furqaan/ 25: 44), sedangkan bentuk insaniyahnya (humanism) terletak pada iman dan amalnya (QS. Al-Tin/95: 6). Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial (al-naas) mempunyai tugas sosial dan tanggung jawab sosial terhadap alam sernesta. Klasifikasi ketiga ini karena manusia berfungsi tidak hanya sebagai 'abdul4zh (hamba Allah) (QS. Al-Dzariyat/5 1: 5 6), tetapi juga sebagai khalifatullah (wakil Allah di muka bumi) (QS. Al-Baqarah/2: 30; QS. Yunus/10: 14), dengan mandat untuk mewujudkan kemakmuran (QS. Hud/1 1: 61) dan kebahagiaan (QS. Al-Ahzab/33: 71; QS. Al-Ra'd/13: 29) dalarn kehidupan di dunia dan akhirat (QS. Al-Qashash/28: 77). Manusia dengan fungsinya sebagai makhluk sosial tersebut harus bisa mengembangkan nilai-nilai insani yang islami dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut meliputi persaudaraan (ukhuwah insaniyah), kerja sama (ta’awun) saling kenal mengenal (ta’aruf), perdamaian (islah), kasih sayang (rabmat), kebaikan (ihsan), toleransi (Qasamuh), dan pemaaf (afwun).
Kedua, nilai dasar manusia Indonesia. Bangsa Indonesia yang sering dikategorikan bangsa Timur mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan-santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas. Pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia yang jujur dan tidak sombong; bahkan kejujurannya dalam banyak hal digunakan oleh orang atau bangsa lain untuk memperlemah posisi manusia Indonesia sendiri. Manusia Indonesia juga memiliki sifat sopan dan santun terhadap orang lain, ramah kepada sesama, berani membela kebenaran, cakap menghadapi kehidupan, dan tegas menghadapi segala bentuk persoalan kehidupan.
Ketiga, visi pendidikan Indonesia. UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakikat visi pendidikan nasional adalah “untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya”. Manusia seutuhnya menyangkut keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, spiritual, keterampilan, produktivitas, dan daya saingnya. Untuk itu sernua warga negara. Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh pernerintah di sernua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Pemerataan dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang asal-usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sehingga diharapkan bahwa keadilan di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat.
Lebih terperinci, tujuan pendidikan di Indonesia dijelaskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. II/ MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yakni, pendidikan nasional harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu. menambah pengetahuan dan ketrampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin, dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghargai setiap jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila.
Dalarn UUSPN No. 2 tahun 1989 dijelaskan: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengernbangkan manusia, Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kernasyarakatan dan kebangsaan.
Begitu juga dalam UUSPN Tahun 2003, yang tercantum dalam bab II, pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dijelaskan: Pendidikan Nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengernbangan kemarnpuan serta pernbentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat di tengah masyarakat dunia. Sernentara pada pasal 4, yang menjelaskan tentang tujuan, dijelaskan: Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalarn rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita berpedoman pada landasan yuridis pendidikan nasional sebagairnana diuraikan di atas, tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan kehidupan individu, kehidupan sosial, dan kehidupan profesional. Kehidupan individu bisa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan individu-individu, seperti agarna, hak, tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, perturnbuhan yang diinginkan oleh pribadi mereka, dan persiapan untuk menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan sosial bisa meliputi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan profesional bisa meliputi pendidikan, pengetahuan, dan ketrarnpilan, kemandirian, kreativitas, kewirausahaan, dan kecakapan, Maksum, (2004:233).
Pada dasarnya pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dari generasi ke generasi sepanjang jaman, atau dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, agama dan kebudayaan (Zamroni, 2000:123). Oleh karena itu pendidikan berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia tersebut. Perubahan kehidupan manusia bagaimanapun bersifat dinamis, dan semakin lama berlangsung semakin cepat dengan dukungan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan pemikiran ini Lovat dan Smith (1993:200) mengemukakan “Currently, as human being, we are facing changes that are happening more quickly, and are more fundamental, than ever before”. Selain berlangsung lebih cepat dan lebih fundamental, perubahan tersebut juga menembus ke seluruh bidang kehidupan manusia (Majorek, 2000:8-9). Berkenaan dengan itu, bidang pendidikan juga mengalami berbagai perubahan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang lain dari kehidupan masyarakat.
Dengan lingkungan kehidupan yang berubah dan berkembang sangat cepat, pendidikan dihadapkan kepada tantangan yang serius, seperti dalam ungkapan Houston, (1988:5) bahwa “Education is challenging and education is challenged”. Pendidikan merupakan tantangan, karena untuk mendidik dengan baik agar peserta didik mampu belajar untuk belajar (learning how to learn) dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang merupakan tantangan bagi para pendidik. Sementara itu pendidikan ditantang untuk dapat mempersiapkan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai, sikap, kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi peranannya di masa depan.
Dengan tugas yang berorientasi pada masa depan tersebut maka menjadi suatu keharusan atau kewajiban bagi para pendidik untuk memahami masa depan agar dapat mempersiapkan peserta didik dengan bekal kemampuan yang berguna untuk menjalani kehidupan masa mendatang. Apabila para pendidik tidak mampu memahami masa depan maka besar kemungkinan pengalaman belajar atau kurikulum yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan lebih lanjut justru akan menambah problem sosial (Hunkins, 1998:389). Dalam kerangka untuk memahami masa depan itulah maka sungguh penting dan sangat menarik untuk mengkaji futurologi pendidikan ini.
Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mampu mendukung terhadap tuntutan pembangunan nasional. Pendidikan nasional diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat Indonesia agar makin maju, sehingga berkembang menjadi sikap mental dan sikap hidup masyarakat yang mampu mendorong percepatan proses pembangunan di segala aspek kehidupan bangsa.
Malahan apabila ditinjau dari perspektif idealisme pembangunan nasional, terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan berakhlak mulia merupakan rumusan yang secara konsepsional dapat dijadikan sebagai visi pembangunan sumber daya manusia (SDM), sebab hal ini amat relevan jika dikaitkan dengan kualitas manusia Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.
Sedangkan proses pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia masih jauh tertinggal berdasarkan survai dari United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 menunjukkan posisi Indonesia pada ranking 102 berada di bawah Vietnam urutan ke 101 dan Aljazair urutan ke 100 (Spektrum 2006), hal ini dapat terlihat permasalahan pendidikan yang sangat menonjol yaitu masih rendahnya pemerataan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, kurikulum yang belum padu, dan masih rendahnya qualitas dan manajemen pendidikan.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asean, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal, hal ini terlihat dari menurunnya peringkat Indek Pembangunan Manusia (Human Development Indek /HDI) yang mencakup angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi murid sekolah dan GDP riil perkapita. Berdasarkan HDI 2005 yang dikeluarkan PBB melalui UNDP, peringkat Indonesia menempati urutan ke 108.

B. Politik Ideologi Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sisdiknas, dalam Bab 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selanjutnya dalam Bab III, pasal 4 ayat 1 dikatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Rumusan ideologi pendidikan dalam sisdiknas tersebut sangat jelas dan sistematik dan merupakan kerangkan acuan politik pendidikan nasional dalam semua rumusan aspek kebijakannya. Rumusan tersebut sebenarnya merupakan penjabaran dari politik ideologi nasional ke dalam sektor pendidikan. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor pendidikan adalah aspek dari pembangunan politik bangsa, yang tidak lain sebagai konsistensi antara arah politik dengan cetak biru pembangunan bangsa kita yang berdasarkan Pancasila dan UUD Dasar 1945.
Tujuan nasional sebagai ideologi dasar dari masyarakat dan bangsa kita menjiwai terbentuknya masyarakat industri modern, ideologi pembangunan kita untuk jangka panjang kedua, serta politik pendidikan nasional.
Dalam masyarakat industri modern di masa ilmu pengetahuan serta informasi semakin mudah dikuasai oleh rakyat banyak, dituntut pula berkembangnya kehidupan demokratis modern, Tilaar,(2001:96) menyatakan dengan sangat jelas:
“.... demokratis modern memerlukan rakyat yang selain berpaham nasionalis juga berwatak demokrat. Baik paham nasionalisme maupun watak demokrat tidaklah tumbuh sendiri. Kedua kualitas itu harus didikan, melalui proses sosialisasi serta pendidikan politik”
Masyarakat industri modern adalah masyarakat yang mengacu kepada kualitas dalam segala aspek kehidupan, sedangkan kualitas itu sendiri hanya dapat hidup dalam masyarakat yang tinggi disiplinnya.
Akhirnya masyarakat industri modern adalah masyarakat yang mengacu kepada kualitas dalam segala aspek kehidupan, sedangkan kualitas itu sendiri hanya dapat hidup dalam masyarakat yang tinggi disiplinnya.
Asas pemerataan merupakan usasha yang berkelanjutan sebab seperti yang telah diuraikan, pemerataan yang sempurna malahan kontradiktif dengan perubahan. Usaha pemerataan adalah inhern dengan usaha pembangunan. Selanjutnya peningkatan kualitas manusia sebenarnya merupakan hakikat dari pembangunan nasional sebab bukanlah usaha pembangunan itu untuk menaikkan taraf hidup atau kualitas hidup manusia Indonesia? Peningkatan kualitas hidup seseorang belum dengan sendirinya menaikkan tafaf hidup seluruh masyarakat Indonesia.
Salah satu unsur politik pendidikan yang menunjang kehidupan masyarakat industri modern ialah pendidikan yang memberi prioritas kepada pendidikan yang etis tetapi yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang mengembangkan bakat sesuai kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Pendidikan yang selektif untuk program yang relevan, pendidikan untuk anak pintar luar biasa, merupakan program yang perlu dilaksanakan.
Pendidikan politik merupakan landasan utama bagi tumbuhnya rasa nasionalisme yang positif. Usaha ini perlu mendapatkan perhatian utama dalam pendidikan dasar 9 tahun yang diwajibkan. Pelaksanaan pendidikan politik ini menuntut cara penyajian yang efektif sesuai dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan rakyat kita dan tumbuhnya kehidupan demokratis yang terbuka. Metodologi yang rasional dan kritis akan menumbuhkan nasionalisme yang rasional sehingga mampu mengolah berbagai bentuk arus globalisasi yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan nasional.
Akhirnya pelaksanaan politik pendidikan nasional dengan berbagai perubahan fundamental, perlu ditata dalam suatu organisasi yang efisien dan dikelola oleh tenaga-tenaga profesional. Keterpaduan antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan dengan berbagai jenis pelatihan dengan dunia industri meminta suatu pengelolaan terpadu pendidikan dan pelatihan nasional sebagai bagian dari sistem pengelolaan pembangunan nasional. Secara lebih jelas konsep dan tujuan Pendidikan Nasional terlihat dalam gambar 1. di bawah ini.



















Gambar 1. Alur Politik Pendidikan
Sumber: Tilaar, 2006:162

C. Pendidikan sebagai Pemberdayaan
Istilah “pemberdayaan” atau empowerment, yang akhir-akhir ini banyak digunakan, tepat untuk dikatikan dengan tujuan pendidikan. Istilah empowerment berhubungan dengan istilah power. Power dapat berarti “kekuasaan terhadap” atau dominasi terhadap (power-over). Akan tetapi, yang dimaksud di sini, power dalam pengertian: power to, yaitu daya kekuatan untuk berbuat; power-with, yaitu daya kekuatan dalam diri pribadi manusia. Pendidikan dapat dilihat sebagai empowerment atau pemberdayaan, yaitu membantu pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan itu.
Pertama, pendidikan membantu peserta didik membangun power to, yaitu daya kekuatan yang kreatif, yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek individual dari pemberdayaan, yaitu membantu seseorang agar ia memiliki kemampuan berpikir; menguasai ilmu pengetahuan dan teknolgi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan. Widiastono, (2006:20) mendefinisikan pendidikan sebagai pemberdayaan dengan kata-kata berikut: “membantu orang agar dapat mengambil tanggung jawab atas kehidupannya, memberi inspirasi agar orang dapat mengembangkan perasaan harga diri dan kesediaan untuk mengambil sikap, berani bersikap kritis terhadap dirinya, dan reflektif terhadap tindakannya.
Pendidikan sebagai pemberdayaan adalah usaha untuk membantu membangun power-with, kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, pendidikan juga membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia.
Akhirnya pendidikan sebagai pemberdayaan bertujuan untuk membangun power-within, daya kekuatan batin dalam diri peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan. Itulah kekuatan di atas mana orang dapat membangun kepribadian. Tanpa adanya harga diri, tak mungkin peserta didik membangun kemampuan kreatifnya dalam berbagai bidang. Perkembangan intelektual, moral, dan emosional dalam pendidikan hanya mungkin atas dasar harga diri yang harus ditanamkan sejak dini.
Pengembangan ketiga daya kemampuan dalam pemberdayaan akan memungkinkan peserta didik menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, tanpa terseret ke dalam arus konformisme. Perkembangan dari masyarakat agraris kepada masyarakat industrial, kemudian kepada masyarakat pascaindustrial membawa berbagai perubahan orientasi hidup. Perubahan yang cepat di berbagai bidang itu, lebih-lebih karena pengaruh global, akan menghadapkan manusia kepada berbagai pilihan baru, seperti ideologi, sikap, gaya hidup, sistem nilai, keyakinan, dan lain-lain. Perubahan itu tidak bersifat deterministis, karena manusia dapat mengambil sikap terhadap perubahan tersebut. Yang tak terelakan adalah keharusan pilihan dan atas dasar kriteria apa kita menjatuhkan suatu pilihan. Maka intervensi pendidikan menjadi sangat penting. Pemberdayaan akan memampukan manusia untuk berani mengambil sikap secara kritis.
Tentu saja usaha-usaha pendidikan sebagai pemberdayaan masih harus dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta menghadapkan kita pada tuntutan penyediaan kesempatan belajar bagi generasi muda dan pemenuhan berbagai kebutuhan dasar yang menyertau kebutuhan dan hak untuk pendidikan. Kedua, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan angkatan kerja, yang berarti kebutuhan akan kesempatan kerja yang semakin banyak. Ketiga, masalah-masalah yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia menghadapi berbagai persaingan global. Keempat, masalah-masalah dalam institusi pendidikan itu sendiri, seperti masalah kualitas, kurikulum, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan multikultural, dan sebagainya. Jadi orientasi pendidikan yang normatif selalu dihadapkan kepada realitas konkret, tetapi tanpa idealisme dan nilai-nilai normatif, tak mungkin kita mencapai pendidikan yang berkualitas.
D. Nilai-nilai Kemanusiaan sebagai Dasar Pendidikan
Nilai-nilai kemanusiaan yang telah disepakati bangsa Indonesia adalah nilai-nilai dasar yang dirumuskan dalam Pancasila (Widistiono, 2006:19). Karena itu, seringkali dikatakan, Pancasila itu humanistik dan universalistik. Dikatakan humanistik karena memuat nilai-nilai kemanusiaan, dan universalistik karena nilai-nilai itu bersifat mendasar, sehingga dapat berlasku bagi setiap orang. Karena itu pula pendidikan nasional harus bertumpu pada nilai-nilai Pancasila. Maka pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan Pancasila akan memiliki lima ciri, yaitu hormat terhadap keyakinan religius setiap orang, hormat terhadap martabat manusia dan hak-hak asasi, berwawasan kebangsaan, demokratis, serta menjunjung dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan harus mengajarkan agar peserta didik saling menghormati keyakinan religius masing-masing. Manusia dihormati karena manusia adalah ciptaan Allah yang tertinggi di antara ciptaan di dunia. Semua agama dalam berbagai versinya menganggap keluhuran martabat manusia tertinggi terletak pada kaitannya dengan Yang Transenden. Negara dan berbagai institusi termasuk institusi pendidikan harus menghormati keyakinan religius masyarakat Indonesia dan menjamin keyakinan masing-masing warga negara. Dalam masyarakat yang multikultural dan majemuk dalam hal agama, kerja sama dan persatuan untuk membangun bangsa dan negara merupakan keharusan yang mengalir dari Sila Pertama ini.
Pendidikan yang manusiawi adalah pendidikan yang mendasarkan diri pada penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya yang mengalir darinya. Manusia harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki akal budi, kehendak, dan kebebasan. Karena itu, manusia tidak boleh diperalat sebagai obyek. Pendidikan bertujuan agar peserta didik dapat berkembang sebagai subyek dalam berbagai dimensi kemanusiaan. Karena itu, pelaku utama pendidikan adalah manusia itu sendiri sebagai subyek. Hak-hal asasi manusia dapat dipandang sebagai usaha untuk menjabarkan isi dari martabat manusia itu. Pendidikan sendiri merupakan hak asasi setiap orang karena melalui pendidikan ia dapat meningkatkan dan mewujudkan martabatnya sebagai manusia.
Pendidikan menyiapkan warga negara menjadi partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Di dalam nasionalisme atau faham kebangsaan terkandung kesadaran akan kesatuan sosial baru yang disebut bangsa, yang lingkupnya mengatasi kesatuan primordial yang lebih sempit yang didasarkan atas kesamaan agama, suku, budaya, bahasa. Bangsa yang menjadi kerangka acuan identitas diri. Di dalam wawasan kebangsaan itu terkandung unsur kewajiban moral untuk mengikatkan diri pada kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara.
Ada beberapa prinsip baru yang harus disosialisasikan lewat pendidikan: (1) prinsip kesejahteraan seluruh bangsa bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya; (2) keharusan untuk bekerjasama antarberbagai kelompok untuk menghindari destruksi dan untuk menciptakan kesejahteraan bersama; (3) penerimaan asas pluralisme, yang berarti memberi tempat bagi keanekaragaman dan artukulasi keanekaragaman dalam kerangka kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan merupakan institusi di mana kesetiaan dan komitmen kepada bangsa ditanamkan. Pendidikan tersebut menuntut agar pendidikan sejarah nasional diberikan secara bermakna, dengan mengaitkan masa lalu dan masa kini. Situasi masyarakat aktual di satu sisi, dan situasi global di sisi lain harus diolah dalam pendidikan, sehingga wawasan kebangsaan dapat menjadi aktual, kritis, dan terbuka. Dengan cara ini, pendidikan dapat menjadi faktor kohesi suatu bangsa.
Pendidikan tidak hanya harus mengajarkan apa itu makna demokratis, tetapi konsepsi pendidikan itu sendiri harus demokratis. Demokratis adalah suatu proses yang mengimplementasikan beberapa prinsip politik modern, yaitu kedaulatan rakyat, partisipasi, akuntabilitas, kontrol sosial, toleransi terhadap kemajemukan, persamaan kewarganegaraan dan pembatasan ruang lingkup politik. Demokratis tidak hanya merupakan sistem politik yang berdasarkan prinsip-prinsip politik itu, tetapi demokratis juga suatu budaya. Demokratis tidak akan berjalan tanpa didukung etos politik yang sesuai. Dalam pendidikan tidak hanya harus diajarkan prinsip-prinsip dari suatu sistem demokratis, tetapi juga nilai-nilai yang mendukungnya. Bagaimana warga negara di satu sisi memiliki kemandirian, sehingga ia dapat menentukan pilihan politiknya, dan di sisi lain kepekaan untuk mempertimbangkan kepentingan bersama.
Pendidikan, akhirnya, harus merupakan pendidikan bagi keadilan (education for justice) sekaligus menjadi perwujudann keadilan sosial. Kalau kita amati perkembangan manusia sepanjang sejarah, maka keadilan sosial merupakan tuntuan permanen yang diperjuangkan manusia. Manusia hanya dapat hidup layak sebagai manusia jika hak-haknya yang fundamental terpenuhi atau keadilan sosial tercapai. Semakin pendidikan bersifat etis, dalam arti hanya kelompok elite saja yang menikmati pendidikan, semakin pendidikan jauh dari keadilan sosial. Semakin pendidikan merata ke segenap lapisan masyarakat, semakin keadilan sosial terwujud dalam pendidikan. Pendidikan bagi keadilan mengimplementasikan bahwa dalam pendidikan ditanamkan rasa keadilan sosial. Dalam tahap-tahap perkembangan kesadaran moral, prinsip keadilan harus semakin menjadi pertimbangan atau motivasi dalam menentukan tindakan.
E. Budaya Pendidikan di Indonesia
Kebudayaan dalam arti luas adalah dinamika sistem nilai dalam berbagai bidang kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang cukup jauh sebagai hasil dan atau pedoman manusia berperilaku. Kebudayaan dimiliki oleh masyarakat. Perbedaan kebudayaan suatu masyarakat dengan masyarakat lain terletak pada perkembangannya dalam memenuhi segala keperluan masyarakat.
Engkoswara (2001:14) menyatakan bahwa kebudayaan di Indonesia pada dasarnya memiliki karakteristik bhineka, beragam, atau pluralistik, tetapi memiliki kesamaan dengan kebudayaan negara lain yaitu pada beberapa nilai dasar yang menggambarkan satu hasil atau pedoman perilaku manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai atau kebudayaan dasar itu secara garis besar adalah:
1. Kebudayaan utama
Kebudayaan utama berkaitan dengan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan mahluk universal. Manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan secara sadar atau tidak adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
2. Kebudayaan profesi
Manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok, dan tidak dapat melepaskan diri dari manusia lain, sehingga disebut sebagai mahluk sosial. Budaya profesi atau budaya kerja dilandasi oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni sebagai dasar untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang (politik, ekonomi, hukum, sosial-kemasyarakatan, IPTEK, dan keamanan) dan untuk kemandirian sesuai profesinya.
3. Kebudayaan pribadi kreatif terpuji
Manusia adalah mahluk yang hakiki, unik, khas dan tidak ada yang sama. Ciri hakiki terletak pada kreativitas pribadi terpuji. Oleh karena itu manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Budaya ini lebih mengarah kepada budaya pribadi yaitu dalam bentuk hobi atau minat pada bidang khusus.
Organisasi pendidikan pada tingkat kelembagaan sekolah secara langsung mengelola proses pendidikan yang melibatkan berbagai komponen seperti siswa, guru, kurikulum, fasilitas dan berbagai komponen lain yang esensial yang masing-masing mempunyai peran yang berbeda tetapi saling berkaitan dalam proses belajar mengajar. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, sejumlah guru, guru konselor, staf administrasi dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Struktur sekolah sangat bervariasi, walaupun unsur-unsur esensial tetap merupakan ciri-ciri dari Suatu organisasi sekolah yang terdapat pada setiap organisasi pendidikan/sekolah dimanapun sekolah itu berada.
Organisasi pendidikan sebagai sarana membentuk manusia atau generasi penerus dalam pelaksanaan visinya akan selalu dipengaruhi oleh budaya yang ada. Organisasi pendidikan formal di Indonesia terdiri dari SD/MI, SLTP/MTs, SLTA dan Universitas. Budaya yang ada disekolah tersebut sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi seperti penjelasan di atas. Sebagai contoh universitas, pimpinannya adalah Faktor. Maka secara umum dapat dikatakan yang menentukan nilai nilai budaya adalah rektor, tetapi tentunya tidak semua nilai-nilai dapat ditentukan oleh rektor. Ada nilai-nilai yang berasal dari lingkungan sekitar baik internal maupun eksternal yang mungkin mempengaruhinya.
Pada prinsipnya budaya pada organisasi pendidikan ini harus di manage dengan baik oleh para pimpinan di bidangnya, sehingga budaya ini dapat membantu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan organisasi pendidikan.
Robbins (1990: 231) menguraikan mengenai bagaimana me-manage budaya. Manajemen budaya di Indonesia diarahkan pada realisasi dan aktualisasi implementasi budaya yang berdasarkan bhineka tunggal ika. Berbeda dengan manajemen pembangunan fisik, manajemen budaya tidak diukur semata-mata pada produk, melainkan juga proses dan outcominya. Manajemen budaya harus terus me-revive, menyadarkan, membangunkan, meskipun "ideals can never be more than partially realized'.
F. Masalah Kurikulum dalam Pendekatan Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dari generasi ke generasi sepanjang jaman, atau dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, agama dan kebudayaan (Zamroni, 2000:123). Oleh karena itu pendidikan berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia tersebut, sebagaimana pernyataan Houston, (1988:22) bahwa “The development of education throughout history parallels the development of civilizations”.
Dengan lingkungan kehidupan yang berubah dan berkembang sangat cepat, pendidikan dihadapkan kepada tantangan yang serius, seperti dalam ungkapan Houston, (1988:5) bahwa “Education is challenging and education is challenged”. Pendidikan merupakan tantangan, karena untuk mendidik dengan baik agar peserta didik mampu belajar untuk belajar (learning how to learn) dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang merupakan tantangan bagi para pendidik. Sementara itu pendidikan ditantang untuk dapat mempersiapkan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai, sikap, kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi peranannya di masa depan.
Dengan tugas yang berorientasi pada masa depan tersebut maka menjadi suatu keharusan atau kewajiban bagi para pendidik untuk memahami masa depan agar dapat mempersiapkan peserta didik dengan bekal kemampuan yang berguna untuk menjalani kehidupan masa mendatang. Apabila para pendidik tidak mampu memahami masa depan maka besar kemungkinan pengalaman belajar atau kurikulum yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan lebih lanjut justru akan menambah problem sosial (Hunkins, 1998:389).
Banyak pakar mengatakan bahwa belum berhasilnya pemerintah dan komponen bangsa lainnya memecahkan persoalan pendidikan yang dihadapi masyarakat diantaranya terkait dengan kurikulum pendidikan. Desain kurikulum pendidikan belum mampu memacu siswa untuk berprestasi dan belum sinkron dengan persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.
Sejauh ini banyak kalangan menilai kurikulum pendidikan /metode pembelajaran masih bersifat sangat umum dan tidak mengadopsi kearifan lokal. Padahal Negara Indonesia dengan berbagai macam budaya dan kekayaan alam yang sangat banyak memerlukan penanganan dan pengembangan yang optimal. Kurikulum sekolah di daerah nelayan, misalnya, sepatutnya tidak disamakan dengan kurikulum sekolah di daerah pertanian.
Setelah menyadari belum sinkronnya kurikulum pendidikan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat, Depdiknas mengeluarkan Peraturan Nomor 22 dan 23 tahun 2006. Dalam peraturan itu antara lain dijelaskan, guru sekolah harus menentukan kurikulum sendiri, dengan memerhatikan ciri khas, keunggulan, dan keunikan tiap siswa. Konkretnya, pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Secara keseluruhan, penetapan kurikulum diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Namun, upaya pemerintah itu bisa gagal jika tidak diikuti dengan solusi terhadap masalah yang mengimpit guru dan siswa. Bagi guru terkait dengan masalah inkompetensi, sedangkan bagi siswa kapabilitas rendah. Peningkatan kompetensi guru diperlukan untuk membuat bahan ajar dan meningkatkan kemampuan mengajar, sedangkan untuk siswa terkait dengan kemampuan dalam menerima bahan ajar.
Peningkatan kompetensi guru tidak saja bertalian dengan ilmu dasar, tetapi juga kearifan lokal. Jadi kearifan lokal tidak hanya diterjemahkan dengan mengajarkan bahasa daerah di sekolah, tetapi ditambah dengan ciri khas daerah itu sendiri.
Diketahui selama ini, pengetahuan tentang kearifan lokal (budaya daerah) hanya diperoleh dari generasi ke generasi tanpa ada upaya untuk pengembangan. Jika kearifan lokal dimasukkan kurikulum sekolah bisa jadi daerah tempat sekolah itu berada akan merasakan manfaatnya. Sebab dengan dimasukkannya kearifan lokal itu potensi pengembangannya akan kian terbuka lebar.
Sesunguhnya apabila tidak dimasukkannya kearifan lokal ke kurikulum sekolah akan mengancam keberlangsungan kearifan lokal itu sendiri. Keahlian penduduk membuat kapal penangkap ikan di daerah nelayan misalnya, tidak akan berkembang atau bahkan secara perlahan – lahan akan berhenti. Yang paling krusial, absennya kearifan lokal dalam kurikulum akan mengurangi minat penduduk untuk melanjutkan kearifan lokal tersebut. Salah satu contoh adalah anak seorang petani yang enggan menjadi petani. Padahal, jika anak petani itu menjadi petani dan memiliki pengetahuan dan komitmen, bisa jadi ia akan menjadi petani sukses, lebih baik daripada kondisi orang tuanya. Seyogiyanya, kurikulum di daerah nelayan mengandung aspek yang terkait dengan kehidupan nelayan, seperti membuat perahu, alat tangkap, pengawetan ikan/proses produksi, dan pemasaran.
Meski kita memiliki sekolah kejuruan dengan kurikulum spesifik, sekolah kejuruan dimaksud belum tentu ada di setiap daerah dan jumlahnya sangat terbatas.
Selanjutnya lebih jauh memasukkan aspek pengembangan ilmu dasar dan kearifan lokal dalam kurikulum sekolah akan memberi alternatif bagi lulusan sekolah melanjutkan sekolah atau bekerja
Dengan demikian, kurikulum sekolah setidaknya memuat tiga hal, pertama yang berkaitan dengan pengembangan ilmu dasar untuk keperluan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kedua berkaitan dengan kearifan lokal untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dan ketiga, berkaitan dengan budi pekerti/ moral dan akhlak siswa. Berbagai upaya perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan agar mampu mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Diharapkan, jika kearifan lokal dikembangkan tidak saja mampu menjawab persoalan bangsa, tetapi juga dapat memajukan daerah dan meningkatkan kegiatan ekonomi.
G. Pendekatan Akhlak dan Moral dalam Model Pembelajaran
Pada dasarnya, istilah akhlak menunjukkan pada sejumlah sifat tabiat yang fitri (asli) dan sejumlah sifat yang diusahakan manusia. Maka sifat fitriyah akhlak ini memiliki dua bentuk; yakni bersifat batiniyah (kejiwaan) dan (zaghiriyah) yang terwujud dalam prilaku. Oleh karena itu, baik yang ihtiyari maupun fitriyah, tergambarkan dalam prilaku seseorang. Baik buruknya prilaku seseorang seringkali dihubungkan dengan masalah moral dan pengetahuannnya tentang hukum.
Dalam proses pembangunan masyarakat muslim pemahaman dan pengamalan akhlak mutlaq diperlukan. Ada beberapa prinsip dasar akhlak yang harus menjadi pilar bagi pembangunan masyarakat muslim, yaitu:
Pertama, kebebasan dalam bertindak dengan memiliki sikap dan tanggung jawab. Prinsip akhlak ini merupakan yang paling menonjol dalam islam. Kedua, bersikap adil dan ahsan; keduanya merupakan sifat yang menghimpun sifat-sifat yang baik yang mencakup seluruh kebaikan. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut untuk mewujudkan keadilan dalam semua ucapan dan perbuatannnya. Merealisasikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, berbuat adil kepada orang lain baik yang bersangkutan itu jauh darinya maupun berada dihadapannya.
Suatu budaya tertentu pasti hidup di suatu masyarakat tertentu pula. Antara masyarakat n budaya keduanya saling mengisis. Masyarakat yang bergam dan dinamis, menunjukkan budayanya pun beragam dan dinamis pula. Oleh karena itu, proses transformasi budaya yang berlangsung di masyarakat sudah barang tentu menjadi proses multi dimensional. Paling tidak, berlangsungnya transformasi budaya yang terjadi dapat dilihat dari dua sisi.
Pada satu sisi transformasi itu adalah transformasi dari lingkungan budaya yang berorientasi kepada “masyarakat kesukuan” menuju suatu lingkungan budaya yang berorientasi kepada” masyaraakat negara kebangsaan”. Pada beberapa masyarakat atau negara yang baru membebaskan diri dari penjajahan, proses transformasi ini menjadi pilihan utamanya.
Dengan memerhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugrah Allah SWT, model pendidikan islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut:
1. Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitriah, dinamis dan sosial – religiuss serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara total kepada Yang Maha PenciptaNya.
2. Etimologis, Potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid yang basyariah-dharuriah, menjadi shibghoh manusia muslim sejati berderajat mulia.
3. Pedagogis, manusia adalah makhluk yang belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannnya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model –model tersebut didisain menjadi:
1. Content, lebih difokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilainya yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
2. Pendidik, bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
3. Anak didik, dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain, (guru, teman-teman sebaya dan orang dewasa, serta alam sekitar).
Pendidikan nasional suatu bangsa secara ideal diselenggarakan bukan sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang dan meligitimasi politik bangsa, tetapi pendidikan secara ideal berfungsi memenuhi tuntutan perubahan dunia baru. Karena itu, pendidikan harus terintegrasi dalam proses pembudayaan dan nilai-nilai keagamaan.
Semoga.

Penulis adalah guru bahasa Indonesia di SMAN 24 Bandung






























Merumuskan Metode Pembelajaran yang Berbasis Budaya (Kearifan Lokal) dan Agama sebagai Strategi Meningkatkan Moralitas Anak Didik

Oleh Neulis Rahmawati, S.Pd.,M.Pd.

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai dari pendidikannya. Pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia yang andal apalagi menciptakan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang berkepanjangan ini, diyakini banyak kalangan, akibat gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga, merosotnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Developmnent Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini.
Kenyataan di atas tidak terlepas dari ruwetnya sistem pendidikan di Indonesia. Keruwetan ini tampak dari belum adanya flat-form fundamental yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan program pendidikan. Masih banyak pernyataan (gagasan) yang bersifat instant dan tanpa konsep dijadikan dasar pengembangan pendidikan. Belum ada formula yang berhasil diciptakan untuk mengatasi keruwetan tersebut, karena banyak yang tidak menyadari bahwa untuk mengurai keruwetan itu sendiri harus menemukan ujung pangkalnya. Maka jadilah persoalan dalam dunia pendidikan kita semakin menyerupai jalinan benang kusut.
Untuk menentukan visi pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek , maka perlu direnungkan kembali aspek filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsapat pendidikan diyakini dapat menetukan arah pendidikan suatu bangsa. Jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsapat pendidikannya.
Belum lagi masalah dekadensi moral dikalangan pelajar yang sudah semakin menghawatirkan. Kenakalan remaja, penganiyaan, geng motor, terlibat psikotrapika dll. Hal ini menggambarkan konsep pendidikan yang dilaksanakan masih belum optimal
Bangsa Indonesia, sebenarnya telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari perilaku kehidupannya; namun demikian formulasi dari nilai-nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsapat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus dicari untuk ditemukan . Meskipun sangat sukar merumuskan filsapat pendidikan nasional Indonesia yang tepat, namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia ke depan.
Pertama, konsep manusia. Pertanyaan “siapakah manusia itu?”, telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah bisa dijawab secara final. Para teolog, fiosof, psikolog, dan saintis lainnya terus mencari jawab atas pertanyaan tersebut, tetapi semakin banyak pertanyaan diajukan tentang siapa manusia itu?, maka semakin kelihatan betapa luasnya pengetahuan yang masih terpendam tentang diri manusia itu sendiri. Manusia sebagai sebuah misteri.
Aristoteles (384-322 SM), seorang filsup besar Yunani Kuno, mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal fikirannya (the animal that reasons). Sementara Mulder (seorang sarjana Protestan), manusia adalah mahluk yang berakal, akallah yang merupakan perbedaan pokok diantara manuisa dan binatang; akallah yang menjadi dasar dari segala kebudayaan.
Berbeda dengan konsepsi para filosof dan ilmuwan di atas, dalam konsep islam, manusia terdiri dari tiga unsur, tubuh, hayat, dan jiwa (Maksum, 2004:230). Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat berarti hidup, dan jika tubuh mati, maka kehidupan pun berakhir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Menurut filosof islam, pada binatang dan tumbuh-tumbuhan ada juga jiwa. Tetapi eksistensi jiwa disini terikat dengan tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu, jika makhluk itu mati, jiwa pun ikut hancur.
Lebih terinci lagi, Alqur’an menyebut manusia dengan menggunakan tiga kategori: pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar) pada hakekatnya terdiri dari struktur organ-organ fisik (QS. Al-Hijr/15:28; Al-Tin/95:4). Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah (QS. Al-Rum/30: 30), qalb (QS. Al-Hajj/22: 46), dan akal (QS. Ali Imran/3: 190-191). Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya yang berbeda dengan makhluk lainnya (QS. Al-Isra/17: 70). Tetapi bila potensi rohani dan akal tersebut tidak digunakan, maka manusia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina (QS. Al-A'raf/7: 179; QS. Al-Furqaan/ 25: 44), sedangkan bentuk insaniyahnya (humanism) terletak pada iman dan amalnya (QS. Al-Tin/95: 6). Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial (al-naas) mempunyai tugas sosial dan tanggung jawab sosial terhadap alam sernesta. Klasifikasi ketiga ini karena manusia berfungsi tidak hanya sebagai 'abdul4zh (hamba Allah) (QS. Al-Dzariyat/5 1: 5 6), tetapi juga sebagai khalifatullah (wakil Allah di muka bumi) (QS. Al-Baqarah/2: 30; QS. Yunus/10: 14), dengan mandat untuk mewujudkan kemakmuran (QS. Hud/1 1: 61) dan kebahagiaan (QS. Al-Ahzab/33: 71; QS. Al-Ra'd/13: 29) dalarn kehidupan di dunia dan akhirat (QS. Al-Qashash/28: 77). Manusia dengan fungsinya sebagai makhluk sosial tersebut harus bisa mengembangkan nilai-nilai insani yang islami dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut meliputi persaudaraan (ukhuwah insaniyah), kerja sama (ta’awun) saling kenal mengenal (ta’aruf), perdamaian (islah), kasih sayang (rabmat), kebaikan (ihsan), toleransi (Qasamuh), dan pemaaf (afwun).
Kedua, nilai dasar manusia Indonesia. Bangsa Indonesia yang sering dikategorikan bangsa Timur mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan-santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas. Pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia yang jujur dan tidak sombong; bahkan kejujurannya dalam banyak hal digunakan oleh orang atau bangsa lain untuk memperlemah posisi manusia Indonesia sendiri. Manusia Indonesia juga memiliki sifat sopan dan santun terhadap orang lain, ramah kepada sesama, berani membela kebenaran, cakap menghadapi kehidupan, dan tegas menghadapi segala bentuk persoalan kehidupan.
Ketiga, visi pendidikan Indonesia. UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakikat visi pendidikan nasional adalah “untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya”. Manusia seutuhnya menyangkut keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, spiritual, keterampilan, produktivitas, dan daya saingnya. Untuk itu sernua warga negara. Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh pernerintah di sernua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Pemerataan dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang asal-usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sehingga diharapkan bahwa keadilan di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat.
Lebih terperinci, tujuan pendidikan di Indonesia dijelaskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. II/ MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yakni, pendidikan nasional harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu. menambah pengetahuan dan ketrampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin, dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghargai setiap jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila.
Dalarn UUSPN No. 2 tahun 1989 dijelaskan: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengernbangkan manusia, Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kernasyarakatan dan kebangsaan.
Begitu juga dalam UUSPN Tahun 2003, yang tercantum dalam bab II, pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dijelaskan: Pendidikan Nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengernbangan kemarnpuan serta pernbentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat di tengah masyarakat dunia. Sernentara pada pasal 4, yang menjelaskan tentang tujuan, dijelaskan: Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalarn rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita berpedoman pada landasan yuridis pendidikan nasional sebagairnana diuraikan di atas, tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan kehidupan individu, kehidupan sosial, dan kehidupan profesional. Kehidupan individu bisa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan individu-individu, seperti agarna, hak, tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, perturnbuhan yang diinginkan oleh pribadi mereka, dan persiapan untuk menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan sosial bisa meliputi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan profesional bisa meliputi pendidikan, pengetahuan, dan ketrarnpilan, kemandirian, kreativitas, kewirausahaan, dan kecakapan, Maksum, (2004:233).
Pada dasarnya pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dari generasi ke generasi sepanjang jaman, atau dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, agama dan kebudayaan (Zamroni, 2000:123). Oleh karena itu pendidikan berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia tersebut. Perubahan kehidupan manusia bagaimanapun bersifat dinamis, dan semakin lama berlangsung semakin cepat dengan dukungan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan pemikiran ini Lovat dan Smith (1993:200) mengemukakan “Currently, as human being, we are facing changes that are happening more quickly, and are more fundamental, than ever before”. Selain berlangsung lebih cepat dan lebih fundamental, perubahan tersebut juga menembus ke seluruh bidang kehidupan manusia (Majorek, 2000:8-9). Berkenaan dengan itu, bidang pendidikan juga mengalami berbagai perubahan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang lain dari kehidupan masyarakat.
Dengan lingkungan kehidupan yang berubah dan berkembang sangat cepat, pendidikan dihadapkan kepada tantangan yang serius, seperti dalam ungkapan Houston, (1988:5) bahwa “Education is challenging and education is challenged”. Pendidikan merupakan tantangan, karena untuk mendidik dengan baik agar peserta didik mampu belajar untuk belajar (learning how to learn) dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang merupakan tantangan bagi para pendidik. Sementara itu pendidikan ditantang untuk dapat mempersiapkan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai, sikap, kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi peranannya di masa depan.
Dengan tugas yang berorientasi pada masa depan tersebut maka menjadi suatu keharusan atau kewajiban bagi para pendidik untuk memahami masa depan agar dapat mempersiapkan peserta didik dengan bekal kemampuan yang berguna untuk menjalani kehidupan masa mendatang. Apabila para pendidik tidak mampu memahami masa depan maka besar kemungkinan pengalaman belajar atau kurikulum yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan lebih lanjut justru akan menambah problem sosial (Hunkins, 1998:389). Dalam kerangka untuk memahami masa depan itulah maka sungguh penting dan sangat menarik untuk mengkaji futurologi pendidikan ini.
Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mampu mendukung terhadap tuntutan pembangunan nasional. Pendidikan nasional diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat Indonesia agar makin maju, sehingga berkembang menjadi sikap mental dan sikap hidup masyarakat yang mampu mendorong percepatan proses pembangunan di segala aspek kehidupan bangsa.
Malahan apabila ditinjau dari perspektif idealisme pembangunan nasional, terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan berakhlak mulia merupakan rumusan yang secara konsepsional dapat dijadikan sebagai visi pembangunan sumber daya manusia (SDM), sebab hal ini amat relevan jika dikaitkan dengan kualitas manusia Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.
Sedangkan proses pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia masih jauh tertinggal berdasarkan survai dari United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 menunjukkan posisi Indonesia pada ranking 102 berada di bawah Vietnam urutan ke 101 dan Aljazair urutan ke 100 (Spektrum 2006), hal ini dapat terlihat permasalahan pendidikan yang sangat menonjol yaitu masih rendahnya pemerataan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, kurikulum yang belum padu, dan masih rendahnya qualitas dan manajemen pendidikan.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asean, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal, hal ini terlihat dari menurunnya peringkat Indek Pembangunan Manusia (Human Development Indek /HDI) yang mencakup angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi murid sekolah dan GDP riil perkapita. Berdasarkan HDI 2005 yang dikeluarkan PBB melalui UNDP, peringkat Indonesia menempati urutan ke 108.

B. Politik Ideologi Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sisdiknas, dalam Bab 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selanjutnya dalam Bab III, pasal 4 ayat 1 dikatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Rumusan ideologi pendidikan dalam sisdiknas tersebut sangat jelas dan sistematik dan merupakan kerangkan acuan politik pendidikan nasional dalam semua rumusan aspek kebijakannya. Rumusan tersebut sebenarnya merupakan penjabaran dari politik ideologi nasional ke dalam sektor pendidikan. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor pendidikan adalah aspek dari pembangunan politik bangsa, yang tidak lain sebagai konsistensi antara arah politik dengan cetak biru pembangunan bangsa kita yang berdasarkan Pancasila dan UUD Dasar 1945.
Tujuan nasional sebagai ideologi dasar dari masyarakat dan bangsa kita menjiwai terbentuknya masyarakat industri modern, ideologi pembangunan kita untuk jangka panjang kedua, serta politik pendidikan nasional.
Dalam masyarakat industri modern di masa ilmu pengetahuan serta informasi semakin mudah dikuasai oleh rakyat banyak, dituntut pula berkembangnya kehidupan demokratis modern, Tilaar,(2001:96) menyatakan dengan sangat jelas:
“.... demokratis modern memerlukan rakyat yang selain berpaham nasionalis juga berwatak demokrat. Baik paham nasionalisme maupun watak demokrat tidaklah tumbuh sendiri. Kedua kualitas itu harus didikan, melalui proses sosialisasi serta pendidikan politik”
Masyarakat industri modern adalah masyarakat yang mengacu kepada kualitas dalam segala aspek kehidupan, sedangkan kualitas itu sendiri hanya dapat hidup dalam masyarakat yang tinggi disiplinnya.
Akhirnya masyarakat industri modern adalah masyarakat yang mengacu kepada kualitas dalam segala aspek kehidupan, sedangkan kualitas itu sendiri hanya dapat hidup dalam masyarakat yang tinggi disiplinnya.
Asas pemerataan merupakan usasha yang berkelanjutan sebab seperti yang telah diuraikan, pemerataan yang sempurna malahan kontradiktif dengan perubahan. Usaha pemerataan adalah inhern dengan usaha pembangunan. Selanjutnya peningkatan kualitas manusia sebenarnya merupakan hakikat dari pembangunan nasional sebab bukanlah usaha pembangunan itu untuk menaikkan taraf hidup atau kualitas hidup manusia Indonesia? Peningkatan kualitas hidup seseorang belum dengan sendirinya menaikkan tafaf hidup seluruh masyarakat Indonesia.
Salah satu unsur politik pendidikan yang menunjang kehidupan masyarakat industri modern ialah pendidikan yang memberi prioritas kepada pendidikan yang etis tetapi yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang mengembangkan bakat sesuai kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Pendidikan yang selektif untuk program yang relevan, pendidikan untuk anak pintar luar biasa, merupakan program yang perlu dilaksanakan.
Pendidikan politik merupakan landasan utama bagi tumbuhnya rasa nasionalisme yang positif. Usaha ini perlu mendapatkan perhatian utama dalam pendidikan dasar 9 tahun yang diwajibkan. Pelaksanaan pendidikan politik ini menuntut cara penyajian yang efektif sesuai dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan rakyat kita dan tumbuhnya kehidupan demokratis yang terbuka. Metodologi yang rasional dan kritis akan menumbuhkan nasionalisme yang rasional sehingga mampu mengolah berbagai bentuk arus globalisasi yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan nasional.
Akhirnya pelaksanaan politik pendidikan nasional dengan berbagai perubahan fundamental, perlu ditata dalam suatu organisasi yang efisien dan dikelola oleh tenaga-tenaga profesional. Keterpaduan antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan dengan berbagai jenis pelatihan dengan dunia industri meminta suatu pengelolaan terpadu pendidikan dan pelatihan nasional sebagai bagian dari sistem pengelolaan pembangunan nasional. Secara lebih jelas konsep dan tujuan Pendidikan Nasional terlihat dalam gambar 1. di bawah ini.



















Gambar 1. Alur Politik Pendidikan
Sumber: Tilaar, 2006:162

C. Pendidikan sebagai Pemberdayaan
Istilah “pemberdayaan” atau empowerment, yang akhir-akhir ini banyak digunakan, tepat untuk dikatikan dengan tujuan pendidikan. Istilah empowerment berhubungan dengan istilah power. Power dapat berarti “kekuasaan terhadap” atau dominasi terhadap (power-over). Akan tetapi, yang dimaksud di sini, power dalam pengertian: power to, yaitu daya kekuatan untuk berbuat; power-with, yaitu daya kekuatan dalam diri pribadi manusia. Pendidikan dapat dilihat sebagai empowerment atau pemberdayaan, yaitu membantu pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan itu.
Pertama, pendidikan membantu peserta didik membangun power to, yaitu daya kekuatan yang kreatif, yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek individual dari pemberdayaan, yaitu membantu seseorang agar ia memiliki kemampuan berpikir; menguasai ilmu pengetahuan dan teknolgi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan. Widiastono, (2006:20) mendefinisikan pendidikan sebagai pemberdayaan dengan kata-kata berikut: “membantu orang agar dapat mengambil tanggung jawab atas kehidupannya, memberi inspirasi agar orang dapat mengembangkan perasaan harga diri dan kesediaan untuk mengambil sikap, berani bersikap kritis terhadap dirinya, dan reflektif terhadap tindakannya.
Pendidikan sebagai pemberdayaan adalah usaha untuk membantu membangun power-with, kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, pendidikan juga membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia.
Akhirnya pendidikan sebagai pemberdayaan bertujuan untuk membangun power-within, daya kekuatan batin dalam diri peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan. Itulah kekuatan di atas mana orang dapat membangun kepribadian. Tanpa adanya harga diri, tak mungkin peserta didik membangun kemampuan kreatifnya dalam berbagai bidang. Perkembangan intelektual, moral, dan emosional dalam pendidikan hanya mungkin atas dasar harga diri yang harus ditanamkan sejak dini.
Pengembangan ketiga daya kemampuan dalam pemberdayaan akan memungkinkan peserta didik menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, tanpa terseret ke dalam arus konformisme. Perkembangan dari masyarakat agraris kepada masyarakat industrial, kemudian kepada masyarakat pascaindustrial membawa berbagai perubahan orientasi hidup. Perubahan yang cepat di berbagai bidang itu, lebih-lebih karena pengaruh global, akan menghadapkan manusia kepada berbagai pilihan baru, seperti ideologi, sikap, gaya hidup, sistem nilai, keyakinan, dan lain-lain. Perubahan itu tidak bersifat deterministis, karena manusia dapat mengambil sikap terhadap perubahan tersebut. Yang tak terelakan adalah keharusan pilihan dan atas dasar kriteria apa kita menjatuhkan suatu pilihan. Maka intervensi pendidikan menjadi sangat penting. Pemberdayaan akan memampukan manusia untuk berani mengambil sikap secara kritis.
Tentu saja usaha-usaha pendidikan sebagai pemberdayaan masih harus dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta menghadapkan kita pada tuntutan penyediaan kesempatan belajar bagi generasi muda dan pemenuhan berbagai kebutuhan dasar yang menyertau kebutuhan dan hak untuk pendidikan. Kedua, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan angkatan kerja, yang berarti kebutuhan akan kesempatan kerja yang semakin banyak. Ketiga, masalah-masalah yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia menghadapi berbagai persaingan global. Keempat, masalah-masalah dalam institusi pendidikan itu sendiri, seperti masalah kualitas, kurikulum, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan multikultural, dan sebagainya. Jadi orientasi pendidikan yang normatif selalu dihadapkan kepada realitas konkret, tetapi tanpa idealisme dan nilai-nilai normatif, tak mungkin kita mencapai pendidikan yang berkualitas.
D. Nilai-nilai Kemanusiaan sebagai Dasar Pendidikan
Nilai-nilai kemanusiaan yang telah disepakati bangsa Indonesia adalah nilai-nilai dasar yang dirumuskan dalam Pancasila (Widistiono, 2006:19). Karena itu, seringkali dikatakan, Pancasila itu humanistik dan universalistik. Dikatakan humanistik karena memuat nilai-nilai kemanusiaan, dan universalistik karena nilai-nilai itu bersifat mendasar, sehingga dapat berlasku bagi setiap orang. Karena itu pula pendidikan nasional harus bertumpu pada nilai-nilai Pancasila. Maka pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan Pancasila akan memiliki lima ciri, yaitu hormat terhadap keyakinan religius setiap orang, hormat terhadap martabat manusia dan hak-hak asasi, berwawasan kebangsaan, demokratis, serta menjunjung dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan harus mengajarkan agar peserta didik saling menghormati keyakinan religius masing-masing. Manusia dihormati karena manusia adalah ciptaan Allah yang tertinggi di antara ciptaan di dunia. Semua agama dalam berbagai versinya menganggap keluhuran martabat manusia tertinggi terletak pada kaitannya dengan Yang Transenden. Negara dan berbagai institusi termasuk institusi pendidikan harus menghormati keyakinan religius masyarakat Indonesia dan menjamin keyakinan masing-masing warga negara. Dalam masyarakat yang multikultural dan majemuk dalam hal agama, kerja sama dan persatuan untuk membangun bangsa dan negara merupakan keharusan yang mengalir dari Sila Pertama ini.
Pendidikan yang manusiawi adalah pendidikan yang mendasarkan diri pada penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya yang mengalir darinya. Manusia harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki akal budi, kehendak, dan kebebasan. Karena itu, manusia tidak boleh diperalat sebagai obyek. Pendidikan bertujuan agar peserta didik dapat berkembang sebagai subyek dalam berbagai dimensi kemanusiaan. Karena itu, pelaku utama pendidikan adalah manusia itu sendiri sebagai subyek. Hak-hal asasi manusia dapat dipandang sebagai usaha untuk menjabarkan isi dari martabat manusia itu. Pendidikan sendiri merupakan hak asasi setiap orang karena melalui pendidikan ia dapat meningkatkan dan mewujudkan martabatnya sebagai manusia.
Pendidikan menyiapkan warga negara menjadi partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Di dalam nasionalisme atau faham kebangsaan terkandung kesadaran akan kesatuan sosial baru yang disebut bangsa, yang lingkupnya mengatasi kesatuan primordial yang lebih sempit yang didasarkan atas kesamaan agama, suku, budaya, bahasa. Bangsa yang menjadi kerangka acuan identitas diri. Di dalam wawasan kebangsaan itu terkandung unsur kewajiban moral untuk mengikatkan diri pada kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara.
Ada beberapa prinsip baru yang harus disosialisasikan lewat pendidikan: (1) prinsip kesejahteraan seluruh bangsa bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya; (2) keharusan untuk bekerjasama antarberbagai kelompok untuk menghindari destruksi dan untuk menciptakan kesejahteraan bersama; (3) penerimaan asas pluralisme, yang berarti memberi tempat bagi keanekaragaman dan artukulasi keanekaragaman dalam kerangka kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan merupakan institusi di mana kesetiaan dan komitmen kepada bangsa ditanamkan. Pendidikan tersebut menuntut agar pendidikan sejarah nasional diberikan secara bermakna, dengan mengaitkan masa lalu dan masa kini. Situasi masyarakat aktual di satu sisi, dan situasi global di sisi lain harus diolah dalam pendidikan, sehingga wawasan kebangsaan dapat menjadi aktual, kritis, dan terbuka. Dengan cara ini, pendidikan dapat menjadi faktor kohesi suatu bangsa.
Pendidikan tidak hanya harus mengajarkan apa itu makna demokratis, tetapi konsepsi pendidikan itu sendiri harus demokratis. Demokratis adalah suatu proses yang mengimplementasikan beberapa prinsip politik modern, yaitu kedaulatan rakyat, partisipasi, akuntabilitas, kontrol sosial, toleransi terhadap kemajemukan, persamaan kewarganegaraan dan pembatasan ruang lingkup politik. Demokratis tidak hanya merupakan sistem politik yang berdasarkan prinsip-prinsip politik itu, tetapi demokratis juga suatu budaya. Demokratis tidak akan berjalan tanpa didukung etos politik yang sesuai. Dalam pendidikan tidak hanya harus diajarkan prinsip-prinsip dari suatu sistem demokratis, tetapi juga nilai-nilai yang mendukungnya. Bagaimana warga negara di satu sisi memiliki kemandirian, sehingga ia dapat menentukan pilihan politiknya, dan di sisi lain kepekaan untuk mempertimbangkan kepentingan bersama.
Pendidikan, akhirnya, harus merupakan pendidikan bagi keadilan (education for justice) sekaligus menjadi perwujudann keadilan sosial. Kalau kita amati perkembangan manusia sepanjang sejarah, maka keadilan sosial merupakan tuntuan permanen yang diperjuangkan manusia. Manusia hanya dapat hidup layak sebagai manusia jika hak-haknya yang fundamental terpenuhi atau keadilan sosial tercapai. Semakin pendidikan bersifat etis, dalam arti hanya kelompok elite saja yang menikmati pendidikan, semakin pendidikan jauh dari keadilan sosial. Semakin pendidikan merata ke segenap lapisan masyarakat, semakin keadilan sosial terwujud dalam pendidikan. Pendidikan bagi keadilan mengimplementasikan bahwa dalam pendidikan ditanamkan rasa keadilan sosial. Dalam tahap-tahap perkembangan kesadaran moral, prinsip keadilan harus semakin menjadi pertimbangan atau motivasi dalam menentukan tindakan.
E. Budaya Pendidikan di Indonesia
Kebudayaan dalam arti luas adalah dinamika sistem nilai dalam berbagai bidang kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang cukup jauh sebagai hasil dan atau pedoman manusia berperilaku. Kebudayaan dimiliki oleh masyarakat. Perbedaan kebudayaan suatu masyarakat dengan masyarakat lain terletak pada perkembangannya dalam memenuhi segala keperluan masyarakat.
Engkoswara (2001:14) menyatakan bahwa kebudayaan di Indonesia pada dasarnya memiliki karakteristik bhineka, beragam, atau pluralistik, tetapi memiliki kesamaan dengan kebudayaan negara lain yaitu pada beberapa nilai dasar yang menggambarkan satu hasil atau pedoman perilaku manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai atau kebudayaan dasar itu secara garis besar adalah:
1. Kebudayaan utama
Kebudayaan utama berkaitan dengan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan mahluk universal. Manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan secara sadar atau tidak adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
2. Kebudayaan profesi
Manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok, dan tidak dapat melepaskan diri dari manusia lain, sehingga disebut sebagai mahluk sosial. Budaya profesi atau budaya kerja dilandasi oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni sebagai dasar untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang (politik, ekonomi, hukum, sosial-kemasyarakatan, IPTEK, dan keamanan) dan untuk kemandirian sesuai profesinya.
3. Kebudayaan pribadi kreatif terpuji
Manusia adalah mahluk yang hakiki, unik, khas dan tidak ada yang sama. Ciri hakiki terletak pada kreativitas pribadi terpuji. Oleh karena itu manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Budaya ini lebih mengarah kepada budaya pribadi yaitu dalam bentuk hobi atau minat pada bidang khusus.
Organisasi pendidikan pada tingkat kelembagaan sekolah secara langsung mengelola proses pendidikan yang melibatkan berbagai komponen seperti siswa, guru, kurikulum, fasilitas dan berbagai komponen lain yang esensial yang masing-masing mempunyai peran yang berbeda tetapi saling berkaitan dalam proses belajar mengajar. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, sejumlah guru, guru konselor, staf administrasi dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Struktur sekolah sangat bervariasi, walaupun unsur-unsur esensial tetap merupakan ciri-ciri dari Suatu organisasi sekolah yang terdapat pada setiap organisasi pendidikan/sekolah dimanapun sekolah itu berada.
Organisasi pendidikan sebagai sarana membentuk manusia atau generasi penerus dalam pelaksanaan visinya akan selalu dipengaruhi oleh budaya yang ada. Organisasi pendidikan formal di Indonesia terdiri dari SD/MI, SLTP/MTs, SLTA dan Universitas. Budaya yang ada disekolah tersebut sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi seperti penjelasan di atas. Sebagai contoh universitas, pimpinannya adalah Faktor. Maka secara umum dapat dikatakan yang menentukan nilai nilai budaya adalah rektor, tetapi tentunya tidak semua nilai-nilai dapat ditentukan oleh rektor. Ada nilai-nilai yang berasal dari lingkungan sekitar baik internal maupun eksternal yang mungkin mempengaruhinya.
Pada prinsipnya budaya pada organisasi pendidikan ini harus di manage dengan baik oleh para pimpinan di bidangnya, sehingga budaya ini dapat membantu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan organisasi pendidikan.
Robbins (1990: 231) menguraikan mengenai bagaimana me-manage budaya. Manajemen budaya di Indonesia diarahkan pada realisasi dan aktualisasi implementasi budaya yang berdasarkan bhineka tunggal ika. Berbeda dengan manajemen pembangunan fisik, manajemen budaya tidak diukur semata-mata pada produk, melainkan juga proses dan outcominya. Manajemen budaya harus terus me-revive, menyadarkan, membangunkan, meskipun "ideals can never be more than partially realized'.
F. Masalah Kurikulum dalam Pendekatan Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dari generasi ke generasi sepanjang jaman, atau dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, agama dan kebudayaan (Zamroni, 2000:123). Oleh karena itu pendidikan berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia tersebut, sebagaimana pernyataan Houston, (1988:22) bahwa “The development of education throughout history parallels the development of civilizations”.
Dengan lingkungan kehidupan yang berubah dan berkembang sangat cepat, pendidikan dihadapkan kepada tantangan yang serius, seperti dalam ungkapan Houston, (1988:5) bahwa “Education is challenging and education is challenged”. Pendidikan merupakan tantangan, karena untuk mendidik dengan baik agar peserta didik mampu belajar untuk belajar (learning how to learn) dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang merupakan tantangan bagi para pendidik. Sementara itu pendidikan ditantang untuk dapat mempersiapkan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai, sikap, kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi peranannya di masa depan.
Dengan tugas yang berorientasi pada masa depan tersebut maka menjadi suatu keharusan atau kewajiban bagi para pendidik untuk memahami masa depan agar dapat mempersiapkan peserta didik dengan bekal kemampuan yang berguna untuk menjalani kehidupan masa mendatang. Apabila para pendidik tidak mampu memahami masa depan maka besar kemungkinan pengalaman belajar atau kurikulum yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan lebih lanjut justru akan menambah problem sosial (Hunkins, 1998:389).
Banyak pakar mengatakan bahwa belum berhasilnya pemerintah dan komponen bangsa lainnya memecahkan persoalan pendidikan yang dihadapi masyarakat diantaranya terkait dengan kurikulum pendidikan. Desain kurikulum pendidikan belum mampu memacu siswa untuk berprestasi dan belum sinkron dengan persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.
Sejauh ini banyak kalangan menilai kurikulum pendidikan /metode pembelajaran masih bersifat sangat umum dan tidak mengadopsi kearifan lokal. Padahal Negara Indonesia dengan berbagai macam budaya dan kekayaan alam yang sangat banyak memerlukan penanganan dan pengembangan yang optimal. Kurikulum sekolah di daerah nelayan, misalnya, sepatutnya tidak disamakan dengan kurikulum sekolah di daerah pertanian.
Setelah menyadari belum sinkronnya kurikulum pendidikan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat, Depdiknas mengeluarkan Peraturan Nomor 22 dan 23 tahun 2006. Dalam peraturan itu antara lain dijelaskan, guru sekolah harus menentukan kurikulum sendiri, dengan memerhatikan ciri khas, keunggulan, dan keunikan tiap siswa. Konkretnya, pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Secara keseluruhan, penetapan kurikulum diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Namun, upaya pemerintah itu bisa gagal jika tidak diikuti dengan solusi terhadap masalah yang mengimpit guru dan siswa. Bagi guru terkait dengan masalah inkompetensi, sedangkan bagi siswa kapabilitas rendah. Peningkatan kompetensi guru diperlukan untuk membuat bahan ajar dan meningkatkan kemampuan mengajar, sedangkan untuk siswa terkait dengan kemampuan dalam menerima bahan ajar.
Peningkatan kompetensi guru tidak saja bertalian dengan ilmu dasar, tetapi juga kearifan lokal. Jadi kearifan lokal tidak hanya diterjemahkan dengan mengajarkan bahasa daerah di sekolah, tetapi ditambah dengan ciri khas daerah itu sendiri.
Diketahui selama ini, pengetahuan tentang kearifan lokal (budaya daerah) hanya diperoleh dari generasi ke generasi tanpa ada upaya untuk pengembangan. Jika kearifan lokal dimasukkan kurikulum sekolah bisa jadi daerah tempat sekolah itu berada akan merasakan manfaatnya. Sebab dengan dimasukkannya kearifan lokal itu potensi pengembangannya akan kian terbuka lebar.
Sesunguhnya apabila tidak dimasukkannya kearifan lokal ke kurikulum sekolah akan mengancam keberlangsungan kearifan lokal itu sendiri. Keahlian penduduk membuat kapal penangkap ikan di daerah nelayan misalnya, tidak akan berkembang atau bahkan secara perlahan – lahan akan berhenti. Yang paling krusial, absennya kearifan lokal dalam kurikulum akan mengurangi minat penduduk untuk melanjutkan kearifan lokal tersebut. Salah satu contoh adalah anak seorang petani yang enggan menjadi petani. Padahal, jika anak petani itu menjadi petani dan memiliki pengetahuan dan komitmen, bisa jadi ia akan menjadi petani sukses, lebih baik daripada kondisi orang tuanya. Seyogiyanya, kurikulum di daerah nelayan mengandung aspek yang terkait dengan kehidupan nelayan, seperti membuat perahu, alat tangkap, pengawetan ikan/proses produksi, dan pemasaran.
Meski kita memiliki sekolah kejuruan dengan kurikulum spesifik, sekolah kejuruan dimaksud belum tentu ada di setiap daerah dan jumlahnya sangat terbatas.
Selanjutnya lebih jauh memasukkan aspek pengembangan ilmu dasar dan kearifan lokal dalam kurikulum sekolah akan memberi alternatif bagi lulusan sekolah melanjutkan sekolah atau bekerja
Dengan demikian, kurikulum sekolah setidaknya memuat tiga hal, pertama yang berkaitan dengan pengembangan ilmu dasar untuk keperluan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kedua berkaitan dengan kearifan lokal untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dan ketiga, berkaitan dengan budi pekerti/ moral dan akhlak siswa. Berbagai upaya perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan agar mampu mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Diharapkan, jika kearifan lokal dikembangkan tidak saja mampu menjawab persoalan bangsa, tetapi juga dapat memajukan daerah dan meningkatkan kegiatan ekonomi.
G. Pendekatan Akhlak dan Moral dalam Model Pembelajaran
Pada dasarnya, istilah akhlak menunjukkan pada sejumlah sifat tabiat yang fitri (asli) dan sejumlah sifat yang diusahakan manusia. Maka sifat fitriyah akhlak ini memiliki dua bentuk; yakni bersifat batiniyah (kejiwaan) dan (zaghiriyah) yang terwujud dalam prilaku. Oleh karena itu, baik yang ihtiyari maupun fitriyah, tergambarkan dalam prilaku seseorang. Baik buruknya prilaku seseorang seringkali dihubungkan dengan masalah moral dan pengetahuannnya tentang hukum.
Dalam proses pembangunan masyarakat muslim pemahaman dan pengamalan akhlak mutlaq diperlukan. Ada beberapa prinsip dasar akhlak yang harus menjadi pilar bagi pembangunan masyarakat muslim, yaitu:
Pertama, kebebasan dalam bertindak dengan memiliki sikap dan tanggung jawab. Prinsip akhlak ini merupakan yang paling menonjol dalam islam. Kedua, bersikap adil dan ahsan; keduanya merupakan sifat yang menghimpun sifat-sifat yang baik yang mencakup seluruh kebaikan. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut untuk mewujudkan keadilan dalam semua ucapan dan perbuatannnya. Merealisasikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, berbuat adil kepada orang lain baik yang bersangkutan itu jauh darinya maupun berada dihadapannya.
Suatu budaya tertentu pasti hidup di suatu masyarakat tertentu pula. Antara masyarakat n budaya keduanya saling mengisis. Masyarakat yang bergam dan dinamis, menunjukkan budayanya pun beragam dan dinamis pula. Oleh karena itu, proses transformasi budaya yang berlangsung di masyarakat sudah barang tentu menjadi proses multi dimensional. Paling tidak, berlangsungnya transformasi budaya yang terjadi dapat dilihat dari dua sisi.
Pada satu sisi transformasi itu adalah transformasi dari lingkungan budaya yang berorientasi kepada “masyarakat kesukuan” menuju suatu lingkungan budaya yang berorientasi kepada” masyaraakat negara kebangsaan”. Pada beberapa masyarakat atau negara yang baru membebaskan diri dari penjajahan, proses transformasi ini menjadi pilihan utamanya.
Dengan memerhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugrah Allah SWT, model pendidikan islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut:
1. Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitriah, dinamis dan sosial – religiuss serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara total kepada Yang Maha PenciptaNya.
2. Etimologis, Potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid yang basyariah-dharuriah, menjadi shibghoh manusia muslim sejati berderajat mulia.
3. Pedagogis, manusia adalah makhluk yang belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannnya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model –model tersebut didisain menjadi:
1. Content, lebih difokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilainya yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
2. Pendidik, bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
3. Anak didik, dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain, (guru, teman-teman sebaya dan orang dewasa, serta alam sekitar).
Pendidikan nasional suatu bangsa secara ideal diselenggarakan bukan sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang dan meligitimasi politik bangsa, tetapi pendidikan secara ideal berfungsi memenuhi tuntutan perubahan dunia baru. Karena itu, pendidikan harus terintegrasi dalam proses pembudayaan dan nilai-nilai keagamaan.
Semoga.

Penulis adalah guru bahasa Indonesia di SMAN 24 Bandung





























Merumuskan Metode Pembelajaran yang Berbasis Budaya (Kearifan Lokal) dan Agama sebagai Strategi Meningkatkan Moralitas Anak Didik

Oleh Neulis Rahmawati, S.Pd.,M.Pd.

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai dari pendidikannya. Pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia yang andal apalagi menciptakan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang berkepanjangan ini, diyakini banyak kalangan, akibat gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga, merosotnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Developmnent Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini.
Kenyataan di atas tidak terlepas dari ruwetnya sistem pendidikan di Indonesia. Keruwetan ini tampak dari belum adanya flat-form fundamental yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan program pendidikan. Masih banyak pernyataan (gagasan) yang bersifat instant dan tanpa konsep dijadikan dasar pengembangan pendidikan. Belum ada formula yang berhasil diciptakan untuk mengatasi keruwetan tersebut, karena banyak yang tidak menyadari bahwa untuk mengurai keruwetan itu sendiri harus menemukan ujung pangkalnya. Maka jadilah persoalan dalam dunia pendidikan kita semakin menyerupai jalinan benang kusut.
Untuk menentukan visi pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek , maka perlu direnungkan kembali aspek filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsapat pendidikan diyakini dapat menetukan arah pendidikan suatu bangsa. Jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsapat pendidikannya.
Belum lagi masalah dekadensi moral dikalangan pelajar yang sudah semakin menghawatirkan. Kenakalan remaja, penganiyaan, geng motor, terlibat psikotrapika dll. Hal ini menggambarkan konsep pendidikan yang dilaksanakan masih belum optimal
Bangsa Indonesia, sebenarnya telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari perilaku kehidupannya; namun demikian formulasi dari nilai-nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsapat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus dicari untuk ditemukan . Meskipun sangat sukar merumuskan filsapat pendidikan nasional Indonesia yang tepat, namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia ke depan.
Pertama, konsep manusia. Pertanyaan “siapakah manusia itu?”, telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah bisa dijawab secara final. Para teolog, fiosof, psikolog, dan saintis lainnya terus mencari jawab atas pertanyaan tersebut, tetapi semakin banyak pertanyaan diajukan tentang siapa manusia itu?, maka semakin kelihatan betapa luasnya pengetahuan yang masih terpendam tentang diri manusia itu sendiri. Manusia sebagai sebuah misteri.
Aristoteles (384-322 SM), seorang filsup besar Yunani Kuno, mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal fikirannya (the animal that reasons). Sementara Mulder (seorang sarjana Protestan), manusia adalah mahluk yang berakal, akallah yang merupakan perbedaan pokok diantara manuisa dan binatang; akallah yang menjadi dasar dari segala kebudayaan.
Berbeda dengan konsepsi para filosof dan ilmuwan di atas, dalam konsep islam, manusia terdiri dari tiga unsur, tubuh, hayat, dan jiwa (Maksum, 2004:230). Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat berarti hidup, dan jika tubuh mati, maka kehidupan pun berakhir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Menurut filosof islam, pada binatang dan tumbuh-tumbuhan ada juga jiwa. Tetapi eksistensi jiwa disini terikat dengan tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu, jika makhluk itu mati, jiwa pun ikut hancur.
Lebih terinci lagi, Alqur’an menyebut manusia dengan menggunakan tiga kategori: pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar) pada hakekatnya terdiri dari struktur organ-organ fisik (QS. Al-Hijr/15:28; Al-Tin/95:4). Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah (QS. Al-Rum/30: 30), qalb (QS. Al-Hajj/22: 46), dan akal (QS. Ali Imran/3: 190-191). Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya yang berbeda dengan makhluk lainnya (QS. Al-Isra/17: 70). Tetapi bila potensi rohani dan akal tersebut tidak digunakan, maka manusia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina (QS. Al-A'raf/7: 179; QS. Al-Furqaan/ 25: 44), sedangkan bentuk insaniyahnya (humanism) terletak pada iman dan amalnya (QS. Al-Tin/95: 6). Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial (al-naas) mempunyai tugas sosial dan tanggung jawab sosial terhadap alam sernesta. Klasifikasi ketiga ini karena manusia berfungsi tidak hanya sebagai 'abdul4zh (hamba Allah) (QS. Al-Dzariyat/5 1: 5 6), tetapi juga sebagai khalifatullah (wakil Allah di muka bumi) (QS. Al-Baqarah/2: 30; QS. Yunus/10: 14), dengan mandat untuk mewujudkan kemakmuran (QS. Hud/1 1: 61) dan kebahagiaan (QS. Al-Ahzab/33: 71; QS. Al-Ra'd/13: 29) dalarn kehidupan di dunia dan akhirat (QS. Al-Qashash/28: 77). Manusia dengan fungsinya sebagai makhluk sosial tersebut harus bisa mengembangkan nilai-nilai insani yang islami dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut meliputi persaudaraan (ukhuwah insaniyah), kerja sama (ta’awun) saling kenal mengenal (ta’aruf), perdamaian (islah), kasih sayang (rabmat), kebaikan (ihsan), toleransi (Qasamuh), dan pemaaf (afwun).
Kedua, nilai dasar manusia Indonesia. Bangsa Indonesia yang sering dikategorikan bangsa Timur mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan-santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas. Pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia yang jujur dan tidak sombong; bahkan kejujurannya dalam banyak hal digunakan oleh orang atau bangsa lain untuk memperlemah posisi manusia Indonesia sendiri. Manusia Indonesia juga memiliki sifat sopan dan santun terhadap orang lain, ramah kepada sesama, berani membela kebenaran, cakap menghadapi kehidupan, dan tegas menghadapi segala bentuk persoalan kehidupan.
Ketiga, visi pendidikan Indonesia. UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakikat visi pendidikan nasional adalah “untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya”. Manusia seutuhnya menyangkut keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, spiritual, keterampilan, produktivitas, dan daya saingnya. Untuk itu sernua warga negara. Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh pernerintah di sernua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Pemerataan dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang asal-usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sehingga diharapkan bahwa keadilan di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat.
Lebih terperinci, tujuan pendidikan di Indonesia dijelaskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. II/ MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yakni, pendidikan nasional harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu. menambah pengetahuan dan ketrampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin, dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghargai setiap jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila.
Dalarn UUSPN No. 2 tahun 1989 dijelaskan: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengernbangkan manusia, Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kernasyarakatan dan kebangsaan.
Begitu juga dalam UUSPN Tahun 2003, yang tercantum dalam bab II, pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dijelaskan: Pendidikan Nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengernbangan kemarnpuan serta pernbentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat di tengah masyarakat dunia. Sernentara pada pasal 4, yang menjelaskan tentang tujuan, dijelaskan: Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalarn rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita berpedoman pada landasan yuridis pendidikan nasional sebagairnana diuraikan di atas, tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan kehidupan individu, kehidupan sosial, dan kehidupan profesional. Kehidupan individu bisa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan individu-individu, seperti agarna, hak, tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, perturnbuhan yang diinginkan oleh pribadi mereka, dan persiapan untuk menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan sosial bisa meliputi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan profesional bisa meliputi pendidikan, pengetahuan, dan ketrarnpilan, kemandirian, kreativitas, kewirausahaan, dan kecakapan, Maksum, (2004:233).
Pada dasarnya pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dari generasi ke generasi sepanjang jaman, atau dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, agama dan kebudayaan (Zamroni, 2000:123). Oleh karena itu pendidikan berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia tersebut. Perubahan kehidupan manusia bagaimanapun bersifat dinamis, dan semakin lama berlangsung semakin cepat dengan dukungan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan pemikiran ini Lovat dan Smith (1993:200) mengemukakan “Currently, as human being, we are facing changes that are happening more quickly, and are more fundamental, than ever before”. Selain berlangsung lebih cepat dan lebih fundamental, perubahan tersebut juga menembus ke seluruh bidang kehidupan manusia (Majorek, 2000:8-9). Berkenaan dengan itu, bidang pendidikan juga mengalami berbagai perubahan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang lain dari kehidupan masyarakat.
Dengan lingkungan kehidupan yang berubah dan berkembang sangat cepat, pendidikan dihadapkan kepada tantangan yang serius, seperti dalam ungkapan Houston, (1988:5) bahwa “Education is challenging and education is challenged”. Pendidikan merupakan tantangan, karena untuk mendidik dengan baik agar peserta didik mampu belajar untuk belajar (learning how to learn) dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang merupakan tantangan bagi para pendidik. Sementara itu pendidikan ditantang untuk dapat mempersiapkan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai, sikap, kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi peranannya di masa depan.
Dengan tugas yang berorientasi pada masa depan tersebut maka menjadi suatu keharusan atau kewajiban bagi para pendidik untuk memahami masa depan agar dapat mempersiapkan peserta didik dengan bekal kemampuan yang berguna untuk menjalani kehidupan masa mendatang. Apabila para pendidik tidak mampu memahami masa depan maka besar kemungkinan pengalaman belajar atau kurikulum yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan lebih lanjut justru akan menambah problem sosial (Hunkins, 1998:389). Dalam kerangka untuk memahami masa depan itulah maka sungguh penting dan sangat menarik untuk mengkaji futurologi pendidikan ini.
Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mampu mendukung terhadap tuntutan pembangunan nasional. Pendidikan nasional diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat Indonesia agar makin maju, sehingga berkembang menjadi sikap mental dan sikap hidup masyarakat yang mampu mendorong percepatan proses pembangunan di segala aspek kehidupan bangsa.
Malahan apabila ditinjau dari perspektif idealisme pembangunan nasional, terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan berakhlak mulia merupakan rumusan yang secara konsepsional dapat dijadikan sebagai visi pembangunan sumber daya manusia (SDM), sebab hal ini amat relevan jika dikaitkan dengan kualitas manusia Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.
Sedangkan proses pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia masih jauh tertinggal berdasarkan survai dari United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 menunjukkan posisi Indonesia pada ranking 102 berada di bawah Vietnam urutan ke 101 dan Aljazair urutan ke 100 (Spektrum 2006), hal ini dapat terlihat permasalahan pendidikan yang sangat menonjol yaitu masih rendahnya pemerataan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, kurikulum yang belum padu, dan masih rendahnya qualitas dan manajemen pendidikan.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asean, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal, hal ini terlihat dari menurunnya peringkat Indek Pembangunan Manusia (Human Development Indek /HDI) yang mencakup angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi murid sekolah dan GDP riil perkapita. Berdasarkan HDI 2005 yang dikeluarkan PBB melalui UNDP, peringkat Indonesia menempati urutan ke 108.

B. Politik Ideologi Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sisdiknas, dalam Bab 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selanjutnya dalam Bab III, pasal 4 ayat 1 dikatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Rumusan ideologi pendidikan dalam sisdiknas tersebut sangat jelas dan sistematik dan merupakan kerangkan acuan politik pendidikan nasional dalam semua rumusan aspek kebijakannya. Rumusan tersebut sebenarnya merupakan penjabaran dari politik ideologi nasional ke dalam sektor pendidikan. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor pendidikan adalah aspek dari pembangunan politik bangsa, yang tidak lain sebagai konsistensi antara arah politik dengan cetak biru pembangunan bangsa kita yang berdasarkan Pancasila dan UUD Dasar 1945.
Tujuan nasional sebagai ideologi dasar dari masyarakat dan bangsa kita menjiwai terbentuknya masyarakat industri modern, ideologi pembangunan kita untuk jangka panjang kedua, serta politik pendidikan nasional.
Dalam masyarakat industri modern di masa ilmu pengetahuan serta informasi semakin mudah dikuasai oleh rakyat banyak, dituntut pula berkembangnya kehidupan demokratis modern, Tilaar,(2001:96) menyatakan dengan sangat jelas:
“.... demokratis modern memerlukan rakyat yang selain berpaham nasionalis juga berwatak demokrat. Baik paham nasionalisme maupun watak demokrat tidaklah tumbuh sendiri. Kedua kualitas itu harus didikan, melalui proses sosialisasi serta pendidikan politik”
Masyarakat industri modern adalah masyarakat yang mengacu kepada kualitas dalam segala aspek kehidupan, sedangkan kualitas itu sendiri hanya dapat hidup dalam masyarakat yang tinggi disiplinnya.
Akhirnya masyarakat industri modern adalah masyarakat yang mengacu kepada kualitas dalam segala aspek kehidupan, sedangkan kualitas itu sendiri hanya dapat hidup dalam masyarakat yang tinggi disiplinnya.
Asas pemerataan merupakan usasha yang berkelanjutan sebab seperti yang telah diuraikan, pemerataan yang sempurna malahan kontradiktif dengan perubahan. Usaha pemerataan adalah inhern dengan usaha pembangunan. Selanjutnya peningkatan kualitas manusia sebenarnya merupakan hakikat dari pembangunan nasional sebab bukanlah usaha pembangunan itu untuk menaikkan taraf hidup atau kualitas hidup manusia Indonesia? Peningkatan kualitas hidup seseorang belum dengan sendirinya menaikkan tafaf hidup seluruh masyarakat Indonesia.
Salah satu unsur politik pendidikan yang menunjang kehidupan masyarakat industri modern ialah pendidikan yang memberi prioritas kepada pendidikan yang etis tetapi yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang mengembangkan bakat sesuai kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Pendidikan yang selektif untuk program yang relevan, pendidikan untuk anak pintar luar biasa, merupakan program yang perlu dilaksanakan.
Pendidikan politik merupakan landasan utama bagi tumbuhnya rasa nasionalisme yang positif. Usaha ini perlu mendapatkan perhatian utama dalam pendidikan dasar 9 tahun yang diwajibkan. Pelaksanaan pendidikan politik ini menuntut cara penyajian yang efektif sesuai dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan rakyat kita dan tumbuhnya kehidupan demokratis yang terbuka. Metodologi yang rasional dan kritis akan menumbuhkan nasionalisme yang rasional sehingga mampu mengolah berbagai bentuk arus globalisasi yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan nasional.
Akhirnya pelaksanaan politik pendidikan nasional dengan berbagai perubahan fundamental, perlu ditata dalam suatu organisasi yang efisien dan dikelola oleh tenaga-tenaga profesional. Keterpaduan antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan dengan berbagai jenis pelatihan dengan dunia industri meminta suatu pengelolaan terpadu pendidikan dan pelatihan nasional sebagai bagian dari sistem pengelolaan pembangunan nasional. Secara lebih jelas konsep dan tujuan Pendidikan Nasional terlihat dalam gambar 1. di bawah ini.



















Gambar 1. Alur Politik Pendidikan
Sumber: Tilaar, 2006:162

C. Pendidikan sebagai Pemberdayaan
Istilah “pemberdayaan” atau empowerment, yang akhir-akhir ini banyak digunakan, tepat untuk dikatikan dengan tujuan pendidikan. Istilah empowerment berhubungan dengan istilah power. Power dapat berarti “kekuasaan terhadap” atau dominasi terhadap (power-over). Akan tetapi, yang dimaksud di sini, power dalam pengertian: power to, yaitu daya kekuatan untuk berbuat; power-with, yaitu daya kekuatan dalam diri pribadi manusia. Pendidikan dapat dilihat sebagai empowerment atau pemberdayaan, yaitu membantu pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan itu.
Pertama, pendidikan membantu peserta didik membangun power to, yaitu daya kekuatan yang kreatif, yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek individual dari pemberdayaan, yaitu membantu seseorang agar ia memiliki kemampuan berpikir; menguasai ilmu pengetahuan dan teknolgi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan. Widiastono, (2006:20) mendefinisikan pendidikan sebagai pemberdayaan dengan kata-kata berikut: “membantu orang agar dapat mengambil tanggung jawab atas kehidupannya, memberi inspirasi agar orang dapat mengembangkan perasaan harga diri dan kesediaan untuk mengambil sikap, berani bersikap kritis terhadap dirinya, dan reflektif terhadap tindakannya.
Pendidikan sebagai pemberdayaan adalah usaha untuk membantu membangun power-with, kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, pendidikan juga membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia.
Akhirnya pendidikan sebagai pemberdayaan bertujuan untuk membangun power-within, daya kekuatan batin dalam diri peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan. Itulah kekuatan di atas mana orang dapat membangun kepribadian. Tanpa adanya harga diri, tak mungkin peserta didik membangun kemampuan kreatifnya dalam berbagai bidang. Perkembangan intelektual, moral, dan emosional dalam pendidikan hanya mungkin atas dasar harga diri yang harus ditanamkan sejak dini.
Pengembangan ketiga daya kemampuan dalam pemberdayaan akan memungkinkan peserta didik menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, tanpa terseret ke dalam arus konformisme. Perkembangan dari masyarakat agraris kepada masyarakat industrial, kemudian kepada masyarakat pascaindustrial membawa berbagai perubahan orientasi hidup. Perubahan yang cepat di berbagai bidang itu, lebih-lebih karena pengaruh global, akan menghadapkan manusia kepada berbagai pilihan baru, seperti ideologi, sikap, gaya hidup, sistem nilai, keyakinan, dan lain-lain. Perubahan itu tidak bersifat deterministis, karena manusia dapat mengambil sikap terhadap perubahan tersebut. Yang tak terelakan adalah keharusan pilihan dan atas dasar kriteria apa kita menjatuhkan suatu pilihan. Maka intervensi pendidikan menjadi sangat penting. Pemberdayaan akan memampukan manusia untuk berani mengambil sikap secara kritis.
Tentu saja usaha-usaha pendidikan sebagai pemberdayaan masih harus dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta menghadapkan kita pada tuntutan penyediaan kesempatan belajar bagi generasi muda dan pemenuhan berbagai kebutuhan dasar yang menyertau kebutuhan dan hak untuk pendidikan. Kedua, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan angkatan kerja, yang berarti kebutuhan akan kesempatan kerja yang semakin banyak. Ketiga, masalah-masalah yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia menghadapi berbagai persaingan global. Keempat, masalah-masalah dalam institusi pendidikan itu sendiri, seperti masalah kualitas, kurikulum, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan multikultural, dan sebagainya. Jadi orientasi pendidikan yang normatif selalu dihadapkan kepada realitas konkret, tetapi tanpa idealisme dan nilai-nilai normatif, tak mungkin kita mencapai pendidikan yang berkualitas.
D. Nilai-nilai Kemanusiaan sebagai Dasar Pendidikan
Nilai-nilai kemanusiaan yang telah disepakati bangsa Indonesia adalah nilai-nilai dasar yang dirumuskan dalam Pancasila (Widistiono, 2006:19). Karena itu, seringkali dikatakan, Pancasila itu humanistik dan universalistik. Dikatakan humanistik karena memuat nilai-nilai kemanusiaan, dan universalistik karena nilai-nilai itu bersifat mendasar, sehingga dapat berlasku bagi setiap orang. Karena itu pula pendidikan nasional harus bertumpu pada nilai-nilai Pancasila. Maka pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan Pancasila akan memiliki lima ciri, yaitu hormat terhadap keyakinan religius setiap orang, hormat terhadap martabat manusia dan hak-hak asasi, berwawasan kebangsaan, demokratis, serta menjunjung dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan harus mengajarkan agar peserta didik saling menghormati keyakinan religius masing-masing. Manusia dihormati karena manusia adalah ciptaan Allah yang tertinggi di antara ciptaan di dunia. Semua agama dalam berbagai versinya menganggap keluhuran martabat manusia tertinggi terletak pada kaitannya dengan Yang Transenden. Negara dan berbagai institusi termasuk institusi pendidikan harus menghormati keyakinan religius masyarakat Indonesia dan menjamin keyakinan masing-masing warga negara. Dalam masyarakat yang multikultural dan majemuk dalam hal agama, kerja sama dan persatuan untuk membangun bangsa dan negara merupakan keharusan yang mengalir dari Sila Pertama ini.
Pendidikan yang manusiawi adalah pendidikan yang mendasarkan diri pada penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya yang mengalir darinya. Manusia harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki akal budi, kehendak, dan kebebasan. Karena itu, manusia tidak boleh diperalat sebagai obyek. Pendidikan bertujuan agar peserta didik dapat berkembang sebagai subyek dalam berbagai dimensi kemanusiaan. Karena itu, pelaku utama pendidikan adalah manusia itu sendiri sebagai subyek. Hak-hal asasi manusia dapat dipandang sebagai usaha untuk menjabarkan isi dari martabat manusia itu. Pendidikan sendiri merupakan hak asasi setiap orang karena melalui pendidikan ia dapat meningkatkan dan mewujudkan martabatnya sebagai manusia.
Pendidikan menyiapkan warga negara menjadi partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Di dalam nasionalisme atau faham kebangsaan terkandung kesadaran akan kesatuan sosial baru yang disebut bangsa, yang lingkupnya mengatasi kesatuan primordial yang lebih sempit yang didasarkan atas kesamaan agama, suku, budaya, bahasa. Bangsa yang menjadi kerangka acuan identitas diri. Di dalam wawasan kebangsaan itu terkandung unsur kewajiban moral untuk mengikatkan diri pada kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara.
Ada beberapa prinsip baru yang harus disosialisasikan lewat pendidikan: (1) prinsip kesejahteraan seluruh bangsa bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya; (2) keharusan untuk bekerjasama antarberbagai kelompok untuk menghindari destruksi dan untuk menciptakan kesejahteraan bersama; (3) penerimaan asas pluralisme, yang berarti memberi tempat bagi keanekaragaman dan artukulasi keanekaragaman dalam kerangka kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan merupakan institusi di mana kesetiaan dan komitmen kepada bangsa ditanamkan. Pendidikan tersebut menuntut agar pendidikan sejarah nasional diberikan secara bermakna, dengan mengaitkan masa lalu dan masa kini. Situasi masyarakat aktual di satu sisi, dan situasi global di sisi lain harus diolah dalam pendidikan, sehingga wawasan kebangsaan dapat menjadi aktual, kritis, dan terbuka. Dengan cara ini, pendidikan dapat menjadi faktor kohesi suatu bangsa.
Pendidikan tidak hanya harus mengajarkan apa itu makna demokratis, tetapi konsepsi pendidikan itu sendiri harus demokratis. Demokratis adalah suatu proses yang mengimplementasikan beberapa prinsip politik modern, yaitu kedaulatan rakyat, partisipasi, akuntabilitas, kontrol sosial, toleransi terhadap kemajemukan, persamaan kewarganegaraan dan pembatasan ruang lingkup politik. Demokratis tidak hanya merupakan sistem politik yang berdasarkan prinsip-prinsip politik itu, tetapi demokratis juga suatu budaya. Demokratis tidak akan berjalan tanpa didukung etos politik yang sesuai. Dalam pendidikan tidak hanya harus diajarkan prinsip-prinsip dari suatu sistem demokratis, tetapi juga nilai-nilai yang mendukungnya. Bagaimana warga negara di satu sisi memiliki kemandirian, sehingga ia dapat menentukan pilihan politiknya, dan di sisi lain kepekaan untuk mempertimbangkan kepentingan bersama.
Pendidikan, akhirnya, harus merupakan pendidikan bagi keadilan (education for justice) sekaligus menjadi perwujudann keadilan sosial. Kalau kita amati perkembangan manusia sepanjang sejarah, maka keadilan sosial merupakan tuntuan permanen yang diperjuangkan manusia. Manusia hanya dapat hidup layak sebagai manusia jika hak-haknya yang fundamental terpenuhi atau keadilan sosial tercapai. Semakin pendidikan bersifat etis, dalam arti hanya kelompok elite saja yang menikmati pendidikan, semakin pendidikan jauh dari keadilan sosial. Semakin pendidikan merata ke segenap lapisan masyarakat, semakin keadilan sosial terwujud dalam pendidikan. Pendidikan bagi keadilan mengimplementasikan bahwa dalam pendidikan ditanamkan rasa keadilan sosial. Dalam tahap-tahap perkembangan kesadaran moral, prinsip keadilan harus semakin menjadi pertimbangan atau motivasi dalam menentukan tindakan.
E. Budaya Pendidikan di Indonesia
Kebudayaan dalam arti luas adalah dinamika sistem nilai dalam berbagai bidang kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang cukup jauh sebagai hasil dan atau pedoman manusia berperilaku. Kebudayaan dimiliki oleh masyarakat. Perbedaan kebudayaan suatu masyarakat dengan masyarakat lain terletak pada perkembangannya dalam memenuhi segala keperluan masyarakat.
Engkoswara (2001:14) menyatakan bahwa kebudayaan di Indonesia pada dasarnya memiliki karakteristik bhineka, beragam, atau pluralistik, tetapi memiliki kesamaan dengan kebudayaan negara lain yaitu pada beberapa nilai dasar yang menggambarkan satu hasil atau pedoman perilaku manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai atau kebudayaan dasar itu secara garis besar adalah:
1. Kebudayaan utama
Kebudayaan utama berkaitan dengan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan mahluk universal. Manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan secara sadar atau tidak adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
2. Kebudayaan profesi
Manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok, dan tidak dapat melepaskan diri dari manusia lain, sehingga disebut sebagai mahluk sosial. Budaya profesi atau budaya kerja dilandasi oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni sebagai dasar untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang (politik, ekonomi, hukum, sosial-kemasyarakatan, IPTEK, dan keamanan) dan untuk kemandirian sesuai profesinya.
3. Kebudayaan pribadi kreatif terpuji
Manusia adalah mahluk yang hakiki, unik, khas dan tidak ada yang sama. Ciri hakiki terletak pada kreativitas pribadi terpuji. Oleh karena itu manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Budaya ini lebih mengarah kepada budaya pribadi yaitu dalam bentuk hobi atau minat pada bidang khusus.
Organisasi pendidikan pada tingkat kelembagaan sekolah secara langsung mengelola proses pendidikan yang melibatkan berbagai komponen seperti siswa, guru, kurikulum, fasilitas dan berbagai komponen lain yang esensial yang masing-masing mempunyai peran yang berbeda tetapi saling berkaitan dalam proses belajar mengajar. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, sejumlah guru, guru konselor, staf administrasi dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Struktur sekolah sangat bervariasi, walaupun unsur-unsur esensial tetap merupakan ciri-ciri dari Suatu organisasi sekolah yang terdapat pada setiap organisasi pendidikan/sekolah dimanapun sekolah itu berada.
Organisasi pendidikan sebagai sarana membentuk manusia atau generasi penerus dalam pelaksanaan visinya akan selalu dipengaruhi oleh budaya yang ada. Organisasi pendidikan formal di Indonesia terdiri dari SD/MI, SLTP/MTs, SLTA dan Universitas. Budaya yang ada disekolah tersebut sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi seperti penjelasan di atas. Sebagai contoh universitas, pimpinannya adalah Faktor. Maka secara umum dapat dikatakan yang menentukan nilai nilai budaya adalah rektor, tetapi tentunya tidak semua nilai-nilai dapat ditentukan oleh rektor. Ada nilai-nilai yang berasal dari lingkungan sekitar baik internal maupun eksternal yang mungkin mempengaruhinya.
Pada prinsipnya budaya pada organisasi pendidikan ini harus di manage dengan baik oleh para pimpinan di bidangnya, sehingga budaya ini dapat membantu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan organisasi pendidikan.
Robbins (1990: 231) menguraikan mengenai bagaimana me-manage budaya. Manajemen budaya di Indonesia diarahkan pada realisasi dan aktualisasi implementasi budaya yang berdasarkan bhineka tunggal ika. Berbeda dengan manajemen pembangunan fisik, manajemen budaya tidak diukur semata-mata pada produk, melainkan juga proses dan outcominya. Manajemen budaya harus terus me-revive, menyadarkan, membangunkan, meskipun "ideals can never be more than partially realized'.
F. Masalah Kurikulum dalam Pendekatan Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dari generasi ke generasi sepanjang jaman, atau dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, agama dan kebudayaan (Zamroni, 2000:123). Oleh karena itu pendidikan berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia tersebut, sebagaimana pernyataan Houston, (1988:22) bahwa “The development of education throughout history parallels the development of civilizations”.
Dengan lingkungan kehidupan yang berubah dan berkembang sangat cepat, pendidikan dihadapkan kepada tantangan yang serius, seperti dalam ungkapan Houston, (1988:5) bahwa “Education is challenging and education is challenged”. Pendidikan merupakan tantangan, karena untuk mendidik dengan baik agar peserta didik mampu belajar untuk belajar (learning how to learn) dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang merupakan tantangan bagi para pendidik. Sementara itu pendidikan ditantang untuk dapat mempersiapkan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai, sikap, kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi peranannya di masa depan.
Dengan tugas yang berorientasi pada masa depan tersebut maka menjadi suatu keharusan atau kewajiban bagi para pendidik untuk memahami masa depan agar dapat mempersiapkan peserta didik dengan bekal kemampuan yang berguna untuk menjalani kehidupan masa mendatang. Apabila para pendidik tidak mampu memahami masa depan maka besar kemungkinan pengalaman belajar atau kurikulum yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan lebih lanjut justru akan menambah problem sosial (Hunkins, 1998:389).
Banyak pakar mengatakan bahwa belum berhasilnya pemerintah dan komponen bangsa lainnya memecahkan persoalan pendidikan yang dihadapi masyarakat diantaranya terkait dengan kurikulum pendidikan. Desain kurikulum pendidikan belum mampu memacu siswa untuk berprestasi dan belum sinkron dengan persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.
Sejauh ini banyak kalangan menilai kurikulum pendidikan /metode pembelajaran masih bersifat sangat umum dan tidak mengadopsi kearifan lokal. Padahal Negara Indonesia dengan berbagai macam budaya dan kekayaan alam yang sangat banyak memerlukan penanganan dan pengembangan yang optimal. Kurikulum sekolah di daerah nelayan, misalnya, sepatutnya tidak disamakan dengan kurikulum sekolah di daerah pertanian.
Setelah menyadari belum sinkronnya kurikulum pendidikan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat, Depdiknas mengeluarkan Peraturan Nomor 22 dan 23 tahun 2006. Dalam peraturan itu antara lain dijelaskan, guru sekolah harus menentukan kurikulum sendiri, dengan memerhatikan ciri khas, keunggulan, dan keunikan tiap siswa. Konkretnya, pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Secara keseluruhan, penetapan kurikulum diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Namun, upaya pemerintah itu bisa gagal jika tidak diikuti dengan solusi terhadap masalah yang mengimpit guru dan siswa. Bagi guru terkait dengan masalah inkompetensi, sedangkan bagi siswa kapabilitas rendah. Peningkatan kompetensi guru diperlukan untuk membuat bahan ajar dan meningkatkan kemampuan mengajar, sedangkan untuk siswa terkait dengan kemampuan dalam menerima bahan ajar.
Peningkatan kompetensi guru tidak saja bertalian dengan ilmu dasar, tetapi juga kearifan lokal. Jadi kearifan lokal tidak hanya diterjemahkan dengan mengajarkan bahasa daerah di sekolah, tetapi ditambah dengan ciri khas daerah itu sendiri.
Diketahui selama ini, pengetahuan tentang kearifan lokal (budaya daerah) hanya diperoleh dari generasi ke generasi tanpa ada upaya untuk pengembangan. Jika kearifan lokal dimasukkan kurikulum sekolah bisa jadi daerah tempat sekolah itu berada akan merasakan manfaatnya. Sebab dengan dimasukkannya kearifan lokal itu potensi pengembangannya akan kian terbuka lebar.
Sesunguhnya apabila tidak dimasukkannya kearifan lokal ke kurikulum sekolah akan mengancam keberlangsungan kearifan lokal itu sendiri. Keahlian penduduk membuat kapal penangkap ikan di daerah nelayan misalnya, tidak akan berkembang atau bahkan secara perlahan – lahan akan berhenti. Yang paling krusial, absennya kearifan lokal dalam kurikulum akan mengurangi minat penduduk untuk melanjutkan kearifan lokal tersebut. Salah satu contoh adalah anak seorang petani yang enggan menjadi petani. Padahal, jika anak petani itu menjadi petani dan memiliki pengetahuan dan komitmen, bisa jadi ia akan menjadi petani sukses, lebih baik daripada kondisi orang tuanya. Seyogiyanya, kurikulum di daerah nelayan mengandung aspek yang terkait dengan kehidupan nelayan, seperti membuat perahu, alat tangkap, pengawetan ikan/proses produksi, dan pemasaran.
Meski kita memiliki sekolah kejuruan dengan kurikulum spesifik, sekolah kejuruan dimaksud belum tentu ada di setiap daerah dan jumlahnya sangat terbatas.
Selanjutnya lebih jauh memasukkan aspek pengembangan ilmu dasar dan kearifan lokal dalam kurikulum sekolah akan memberi alternatif bagi lulusan sekolah melanjutkan sekolah atau bekerja
Dengan demikian, kurikulum sekolah setidaknya memuat tiga hal, pertama yang berkaitan dengan pengembangan ilmu dasar untuk keperluan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kedua berkaitan dengan kearifan lokal untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dan ketiga, berkaitan dengan budi pekerti/ moral dan akhlak siswa. Berbagai upaya perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan agar mampu mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Diharapkan, jika kearifan lokal dikembangkan tidak saja mampu menjawab persoalan bangsa, tetapi juga dapat memajukan daerah dan meningkatkan kegiatan ekonomi.
G. Pendekatan Akhlak dan Moral dalam Model Pembelajaran
Pada dasarnya, istilah akhlak menunjukkan pada sejumlah sifat tabiat yang fitri (asli) dan sejumlah sifat yang diusahakan manusia. Maka sifat fitriyah akhlak ini memiliki dua bentuk; yakni bersifat batiniyah (kejiwaan) dan (zaghiriyah) yang terwujud dalam prilaku. Oleh karena itu, baik yang ihtiyari maupun fitriyah, tergambarkan dalam prilaku seseorang. Baik buruknya prilaku seseorang seringkali dihubungkan dengan masalah moral dan pengetahuannnya tentang hukum.
Dalam proses pembangunan masyarakat muslim pemahaman dan pengamalan akhlak mutlaq diperlukan. Ada beberapa prinsip dasar akhlak yang harus menjadi pilar bagi pembangunan masyarakat muslim, yaitu:
Pertama, kebebasan dalam bertindak dengan memiliki sikap dan tanggung jawab. Prinsip akhlak ini merupakan yang paling menonjol dalam islam. Kedua, bersikap adil dan ahsan; keduanya merupakan sifat yang menghimpun sifat-sifat yang baik yang mencakup seluruh kebaikan. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut untuk mewujudkan keadilan dalam semua ucapan dan perbuatannnya. Merealisasikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, berbuat adil kepada orang lain baik yang bersangkutan itu jauh darinya maupun berada dihadapannya.
Suatu budaya tertentu pasti hidup di suatu masyarakat tertentu pula. Antara masyarakat n budaya keduanya saling mengisis. Masyarakat yang bergam dan dinamis, menunjukkan budayanya pun beragam dan dinamis pula. Oleh karena itu, proses transformasi budaya yang berlangsung di masyarakat sudah barang tentu menjadi proses multi dimensional. Paling tidak, berlangsungnya transformasi budaya yang terjadi dapat dilihat dari dua sisi.
Pada satu sisi transformasi itu adalah transformasi dari lingkungan budaya yang berorientasi kepada “masyarakat kesukuan” menuju suatu lingkungan budaya yang berorientasi kepada” masyaraakat negara kebangsaan”. Pada beberapa masyarakat atau negara yang baru membebaskan diri dari penjajahan, proses transformasi ini menjadi pilihan utamanya.
Dengan memerhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugrah Allah SWT, model pendidikan islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut:
1. Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitriah, dinamis dan sosial – religiuss serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara total kepada Yang Maha PenciptaNya.
2. Etimologis, Potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid yang basyariah-dharuriah, menjadi shibghoh manusia muslim sejati berderajat mulia.
3. Pedagogis, manusia adalah makhluk yang belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannnya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model –model tersebut didisain menjadi:
1. Content, lebih difokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilainya yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
2. Pendidik, bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
3. Anak didik, dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain, (guru, teman-teman sebaya dan orang dewasa, serta alam sekitar).
Pendidikan nasional suatu bangsa secara ideal diselenggarakan bukan sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang dan meligitimasi politik bangsa, tetapi pendidikan secara ideal berfungsi memenuhi tuntutan perubahan dunia baru. Karena itu, pendidikan harus terintegrasi dalam proses pembudayaan dan nilai-nilai keagamaan.
Semoga.

Penulis adalah guru bahasa Indonesia di SMAN 24 Bandung











































Merumuskan Metode Pembelajaran yang Berbasis Budaya (Kearifan Lokal) dan Agama sebagai Strategi Meningkatkan Moralitas Anak Didik

Oleh Neulis Rahmawati, S.Pd.,M.Pd.

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Oleh karenanya kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Kemajuan beberapa negara di dunia tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai dari pendidikannya. Pernyataan tersebut juga diyakini oleh bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan di Indonesia belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Pendidikan masih belum berhasil menciptakan sumber daya manusia yang andal apalagi menciptakan kualitas bangsa. Krisis multidimensi yang berkepanjangan ini, diyakini banyak kalangan, akibat gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga, merosotnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Developmnent Index (HDI) Indonesia tidak terlepas dari rendahnya kualitas pendidikan di negeri ini.
Kenyataan di atas tidak terlepas dari ruwetnya sistem pendidikan di Indonesia. Keruwetan ini tampak dari belum adanya flat-form fundamental yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan program pendidikan. Masih banyak pernyataan (gagasan) yang bersifat instant dan tanpa konsep dijadikan dasar pengembangan pendidikan. Belum ada formula yang berhasil diciptakan untuk mengatasi keruwetan tersebut, karena banyak yang tidak menyadari bahwa untuk mengurai keruwetan itu sendiri harus menemukan ujung pangkalnya. Maka jadilah persoalan dalam dunia pendidikan kita semakin menyerupai jalinan benang kusut.
Untuk menentukan visi pendidikan Indonesia ke depan, agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh isu-isu sesaat dan terjebak pada pemikiran jangka pendek , maka perlu direnungkan kembali aspek filosofis yang menjadi pedoman dan arah pendidikan nasional. Meskipun bukan satu-satunya faktor penentu, filsapat pendidikan diyakini dapat menetukan arah pendidikan suatu bangsa. Jika bangsa Indonesia melaksanakan pendidikan, maka tentu didasarkan pada filsapat pendidikannya.
Belum lagi masalah dekadensi moral dikalangan pelajar yang sudah semakin menghawatirkan. Kenakalan remaja, penganiyaan, geng motor, terlibat psikotrapika dll. Hal ini menggambarkan konsep pendidikan yang dilaksanakan masih belum optimal
Bangsa Indonesia, sebenarnya telah memiliki nilai-nilai filosofis dan nilai-nilai edukatif yang mendasari perilaku kehidupannya; namun demikian formulasi dari nilai-nilai filosofis tersebut yang dijadikan sebagai filsapat pendidikan nasional hingga sekarang masih terus dicari untuk ditemukan . Meskipun sangat sukar merumuskan filsapat pendidikan nasional Indonesia yang tepat, namun dasar-dasarnya dapat kita temukan dari tiga aspek dasar, yaitu: konsep manusia, nilai dasar manusia Indonesia, dan visi pendidikan Indonesia ke depan.
Pertama, konsep manusia. Pertanyaan “siapakah manusia itu?”, telah menjadi tema sentral sepanjang zaman, dan tidak pernah bisa dijawab secara final. Para teolog, fiosof, psikolog, dan saintis lainnya terus mencari jawab atas pertanyaan tersebut, tetapi semakin banyak pertanyaan diajukan tentang siapa manusia itu?, maka semakin kelihatan betapa luasnya pengetahuan yang masih terpendam tentang diri manusia itu sendiri. Manusia sebagai sebuah misteri.
Aristoteles (384-322 SM), seorang filsup besar Yunani Kuno, mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal fikirannya (the animal that reasons). Sementara Mulder (seorang sarjana Protestan), manusia adalah mahluk yang berakal, akallah yang merupakan perbedaan pokok diantara manuisa dan binatang; akallah yang menjadi dasar dari segala kebudayaan.
Berbeda dengan konsepsi para filosof dan ilmuwan di atas, dalam konsep islam, manusia terdiri dari tiga unsur, tubuh, hayat, dan jiwa (Maksum, 2004:230). Tubuh bersifat materi, tidak kekal dan dapat hancur. Hayat berarti hidup, dan jika tubuh mati, maka kehidupan pun berakhir. Sedangkan jiwa bersifat kekal. Menurut filosof islam, pada binatang dan tumbuh-tumbuhan ada juga jiwa. Tetapi eksistensi jiwa disini terikat dengan tubuh yang bersifat materi. Oleh karena itu, jika makhluk itu mati, jiwa pun ikut hancur.
Lebih terinci lagi, Alqur’an menyebut manusia dengan menggunakan tiga kategori: pertama, manusia sebagai makhluk biologis (al-basyar) pada hakekatnya terdiri dari struktur organ-organ fisik (QS. Al-Hijr/15:28; Al-Tin/95:4). Kedua, manusia sebagai makhluk psikis (al-insan) mempunyai potensi rohani seperti fitrah (QS. Al-Rum/30: 30), qalb (QS. Al-Hajj/22: 46), dan akal (QS. Ali Imran/3: 190-191). Potensi tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya yang berbeda dengan makhluk lainnya (QS. Al-Isra/17: 70). Tetapi bila potensi rohani dan akal tersebut tidak digunakan, maka manusia tidak ubahnya seperti binatang bahkan lebih hina (QS. Al-A'raf/7: 179; QS. Al-Furqaan/ 25: 44), sedangkan bentuk insaniyahnya (humanism) terletak pada iman dan amalnya (QS. Al-Tin/95: 6). Ketiga, manusia sebagai makhluk sosial (al-naas) mempunyai tugas sosial dan tanggung jawab sosial terhadap alam sernesta. Klasifikasi ketiga ini karena manusia berfungsi tidak hanya sebagai 'abdul4zh (hamba Allah) (QS. Al-Dzariyat/5 1: 5 6), tetapi juga sebagai khalifatullah (wakil Allah di muka bumi) (QS. Al-Baqarah/2: 30; QS. Yunus/10: 14), dengan mandat untuk mewujudkan kemakmuran (QS. Hud/1 1: 61) dan kebahagiaan (QS. Al-Ahzab/33: 71; QS. Al-Ra'd/13: 29) dalarn kehidupan di dunia dan akhirat (QS. Al-Qashash/28: 77). Manusia dengan fungsinya sebagai makhluk sosial tersebut harus bisa mengembangkan nilai-nilai insani yang islami dalam kehidupan masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut meliputi persaudaraan (ukhuwah insaniyah), kerja sama (ta’awun) saling kenal mengenal (ta’aruf), perdamaian (islah), kasih sayang (rabmat), kebaikan (ihsan), toleransi (Qasamuh), dan pemaaf (afwun).
Kedua, nilai dasar manusia Indonesia. Bangsa Indonesia yang sering dikategorikan bangsa Timur mewarisi nilai-nilai ketimuran seperti sopan-santun, jujur, ramah, berani, cakap, dan tegas. Pada dasarnya manusia Indonesia adalah manusia yang jujur dan tidak sombong; bahkan kejujurannya dalam banyak hal digunakan oleh orang atau bangsa lain untuk memperlemah posisi manusia Indonesia sendiri. Manusia Indonesia juga memiliki sifat sopan dan santun terhadap orang lain, ramah kepada sesama, berani membela kebenaran, cakap menghadapi kehidupan, dan tegas menghadapi segala bentuk persoalan kehidupan.
Ketiga, visi pendidikan Indonesia. UUD 1945 mengamanatkan bahwa hakikat visi pendidikan nasional adalah “untuk menciptakan manusia Indonesia seutuhnya”. Manusia seutuhnya menyangkut keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan, spiritual, keterampilan, produktivitas, dan daya saingnya. Untuk itu sernua warga negara. Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh pernerintah di sernua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan.
Kesempatan memperoleh pendidikan tersebut tidak dibedakan menurut jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Pemerataan dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang asal-usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan sehingga diharapkan bahwa keadilan di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat.
Lebih terperinci, tujuan pendidikan di Indonesia dijelaskan dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. II/ MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Yakni, pendidikan nasional harus mampu menumbuhkan, meningkatkan kecerdasan dan dorongan untuk selalu. menambah pengetahuan dan ketrampilan serta pengalamannya, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, memiliki disiplin, dan kecerdasan serta tanggung jawab sebagai warga negara dan bangsa, beretos kerja tinggi, berwawasan keunggulan dan kewirausahaan, mampu memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menghargai setiap jenis pekerjaan yang memiliki harkat dan martabat sesuai dengan filsafat Pancasila.
Dalarn UUSPN No. 2 tahun 1989 dijelaskan: Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengernbangkan manusia, Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kernasyarakatan dan kebangsaan.
Begitu juga dalam UUSPN Tahun 2003, yang tercantum dalam bab II, pasal 3 tentang fungsi pendidikan nasional dijelaskan: Pendidikan Nasional berfungsi mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengernbangan kemarnpuan serta pernbentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat di tengah masyarakat dunia. Sernentara pada pasal 4, yang menjelaskan tentang tujuan, dijelaskan: Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalarn rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika kita berpedoman pada landasan yuridis pendidikan nasional sebagairnana diuraikan di atas, tujuan pendidikan nasional berkaitan dengan kehidupan individu, kehidupan sosial, dan kehidupan profesional. Kehidupan individu bisa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan individu-individu, seperti agarna, hak, tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, perturnbuhan yang diinginkan oleh pribadi mereka, dan persiapan untuk menjalani kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan sosial bisa meliputi kehidupan masyarakat secara keseluruhan, berbangsa, dan bernegara. Kehidupan profesional bisa meliputi pendidikan, pengetahuan, dan ketrarnpilan, kemandirian, kreativitas, kewirausahaan, dan kecakapan, Maksum, (2004:233).
Pada dasarnya pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dari generasi ke generasi sepanjang jaman, atau dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, agama dan kebudayaan (Zamroni, 2000:123). Oleh karena itu pendidikan berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia tersebut. Perubahan kehidupan manusia bagaimanapun bersifat dinamis, dan semakin lama berlangsung semakin cepat dengan dukungan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan pemikiran ini Lovat dan Smith (1993:200) mengemukakan “Currently, as human being, we are facing changes that are happening more quickly, and are more fundamental, than ever before”. Selain berlangsung lebih cepat dan lebih fundamental, perubahan tersebut juga menembus ke seluruh bidang kehidupan manusia (Majorek, 2000:8-9). Berkenaan dengan itu, bidang pendidikan juga mengalami berbagai perubahan sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam bidang lain dari kehidupan masyarakat.
Dengan lingkungan kehidupan yang berubah dan berkembang sangat cepat, pendidikan dihadapkan kepada tantangan yang serius, seperti dalam ungkapan Houston, (1988:5) bahwa “Education is challenging and education is challenged”. Pendidikan merupakan tantangan, karena untuk mendidik dengan baik agar peserta didik mampu belajar untuk belajar (learning how to learn) dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang merupakan tantangan bagi para pendidik. Sementara itu pendidikan ditantang untuk dapat mempersiapkan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai, sikap, kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi peranannya di masa depan.
Dengan tugas yang berorientasi pada masa depan tersebut maka menjadi suatu keharusan atau kewajiban bagi para pendidik untuk memahami masa depan agar dapat mempersiapkan peserta didik dengan bekal kemampuan yang berguna untuk menjalani kehidupan masa mendatang. Apabila para pendidik tidak mampu memahami masa depan maka besar kemungkinan pengalaman belajar atau kurikulum yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan lebih lanjut justru akan menambah problem sosial (Hunkins, 1998:389). Dalam kerangka untuk memahami masa depan itulah maka sungguh penting dan sangat menarik untuk mengkaji futurologi pendidikan ini.
Pembangunan Pendidikan Nasional Indonesia berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mampu mendukung terhadap tuntutan pembangunan nasional. Pendidikan nasional diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat Indonesia agar makin maju, sehingga berkembang menjadi sikap mental dan sikap hidup masyarakat yang mampu mendorong percepatan proses pembangunan di segala aspek kehidupan bangsa.
Malahan apabila ditinjau dari perspektif idealisme pembangunan nasional, terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan berakhlak mulia merupakan rumusan yang secara konsepsional dapat dijadikan sebagai visi pembangunan sumber daya manusia (SDM), sebab hal ini amat relevan jika dikaitkan dengan kualitas manusia Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.
Sedangkan proses pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia masih jauh tertinggal berdasarkan survai dari United Nation Development Program (UNDP) tahun 2005 menunjukkan posisi Indonesia pada ranking 102 berada di bawah Vietnam urutan ke 101 dan Aljazair urutan ke 100 (Spektrum 2006), hal ini dapat terlihat permasalahan pendidikan yang sangat menonjol yaitu masih rendahnya pemerataan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan, kurikulum yang belum padu, dan masih rendahnya qualitas dan manajemen pendidikan.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asean, kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal, hal ini terlihat dari menurunnya peringkat Indek Pembangunan Manusia (Human Development Indek /HDI) yang mencakup angka harapan hidup, angka melek huruf, angka partisipasi murid sekolah dan GDP riil perkapita. Berdasarkan HDI 2005 yang dikeluarkan PBB melalui UNDP, peringkat Indonesia menempati urutan ke 108.

B. Politik Ideologi Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sisdiknas, dalam Bab 1 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Selanjutnya dalam Bab III, pasal 4 ayat 1 dikatakan bahwa Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjungjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Rumusan ideologi pendidikan dalam sisdiknas tersebut sangat jelas dan sistematik dan merupakan kerangkan acuan politik pendidikan nasional dalam semua rumusan aspek kebijakannya. Rumusan tersebut sebenarnya merupakan penjabaran dari politik ideologi nasional ke dalam sektor pendidikan. Pada dasarnya pembangunan dalam sektor pendidikan adalah aspek dari pembangunan politik bangsa, yang tidak lain sebagai konsistensi antara arah politik dengan cetak biru pembangunan bangsa kita yang berdasarkan Pancasila dan UUD Dasar 1945.
Tujuan nasional sebagai ideologi dasar dari masyarakat dan bangsa kita menjiwai terbentuknya masyarakat industri modern, ideologi pembangunan kita untuk jangka panjang kedua, serta politik pendidikan nasional.
Dalam masyarakat industri modern di masa ilmu pengetahuan serta informasi semakin mudah dikuasai oleh rakyat banyak, dituntut pula berkembangnya kehidupan demokratis modern, Tilaar,(2001:96) menyatakan dengan sangat jelas:
“.... demokratis modern memerlukan rakyat yang selain berpaham nasionalis juga berwatak demokrat. Baik paham nasionalisme maupun watak demokrat tidaklah tumbuh sendiri. Kedua kualitas itu harus didikan, melalui proses sosialisasi serta pendidikan politik”
Masyarakat industri modern adalah masyarakat yang mengacu kepada kualitas dalam segala aspek kehidupan, sedangkan kualitas itu sendiri hanya dapat hidup dalam masyarakat yang tinggi disiplinnya.
Akhirnya masyarakat industri modern adalah masyarakat yang mengacu kepada kualitas dalam segala aspek kehidupan, sedangkan kualitas itu sendiri hanya dapat hidup dalam masyarakat yang tinggi disiplinnya.
Asas pemerataan merupakan usasha yang berkelanjutan sebab seperti yang telah diuraikan, pemerataan yang sempurna malahan kontradiktif dengan perubahan. Usaha pemerataan adalah inhern dengan usaha pembangunan. Selanjutnya peningkatan kualitas manusia sebenarnya merupakan hakikat dari pembangunan nasional sebab bukanlah usaha pembangunan itu untuk menaikkan taraf hidup atau kualitas hidup manusia Indonesia? Peningkatan kualitas hidup seseorang belum dengan sendirinya menaikkan tafaf hidup seluruh masyarakat Indonesia.
Salah satu unsur politik pendidikan yang menunjang kehidupan masyarakat industri modern ialah pendidikan yang memberi prioritas kepada pendidikan yang etis tetapi yang memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang mengembangkan bakat sesuai kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Pendidikan yang selektif untuk program yang relevan, pendidikan untuk anak pintar luar biasa, merupakan program yang perlu dilaksanakan.
Pendidikan politik merupakan landasan utama bagi tumbuhnya rasa nasionalisme yang positif. Usaha ini perlu mendapatkan perhatian utama dalam pendidikan dasar 9 tahun yang diwajibkan. Pelaksanaan pendidikan politik ini menuntut cara penyajian yang efektif sesuai dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan rakyat kita dan tumbuhnya kehidupan demokratis yang terbuka. Metodologi yang rasional dan kritis akan menumbuhkan nasionalisme yang rasional sehingga mampu mengolah berbagai bentuk arus globalisasi yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan nasional.
Akhirnya pelaksanaan politik pendidikan nasional dengan berbagai perubahan fundamental, perlu ditata dalam suatu organisasi yang efisien dan dikelola oleh tenaga-tenaga profesional. Keterpaduan antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan dengan berbagai jenis pelatihan dengan dunia industri meminta suatu pengelolaan terpadu pendidikan dan pelatihan nasional sebagai bagian dari sistem pengelolaan pembangunan nasional. Secara lebih jelas konsep dan tujuan Pendidikan Nasional terlihat dalam gambar 1. di bawah ini.



















Gambar 1. Alur Politik Pendidikan
Sumber: Tilaar, 2006:162

C. Pendidikan sebagai Pemberdayaan
Istilah “pemberdayaan” atau empowerment, yang akhir-akhir ini banyak digunakan, tepat untuk dikatikan dengan tujuan pendidikan. Istilah empowerment berhubungan dengan istilah power. Power dapat berarti “kekuasaan terhadap” atau dominasi terhadap (power-over). Akan tetapi, yang dimaksud di sini, power dalam pengertian: power to, yaitu daya kekuatan untuk berbuat; power-with, yaitu daya kekuatan dalam diri pribadi manusia. Pendidikan dapat dilihat sebagai empowerment atau pemberdayaan, yaitu membantu pertumbuhan ketiga macam daya kekuatan itu.
Pertama, pendidikan membantu peserta didik membangun power to, yaitu daya kekuatan yang kreatif, yang membuat seseorang mampu melakukan sesuatu. Ini merupakan aspek individual dari pemberdayaan, yaitu membantu seseorang agar ia memiliki kemampuan berpikir; menguasai ilmu pengetahuan dan teknolgi, untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah dan membangun berbagai keterampilan. Widiastono, (2006:20) mendefinisikan pendidikan sebagai pemberdayaan dengan kata-kata berikut: “membantu orang agar dapat mengambil tanggung jawab atas kehidupannya, memberi inspirasi agar orang dapat mengembangkan perasaan harga diri dan kesediaan untuk mengambil sikap, berani bersikap kritis terhadap dirinya, dan reflektif terhadap tindakannya.
Pendidikan sebagai pemberdayaan adalah usaha untuk membantu membangun power-with, kekuatan bersama, solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama, untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, pendidikan juga membangun komunitas, memperkuat hubungan antarmanusia.
Akhirnya pendidikan sebagai pemberdayaan bertujuan untuk membangun power-within, daya kekuatan batin dalam diri peserta didik, khususnya harga diri, kepercayaan diri dan harapan akan masa depan. Itulah kekuatan di atas mana orang dapat membangun kepribadian. Tanpa adanya harga diri, tak mungkin peserta didik membangun kemampuan kreatifnya dalam berbagai bidang. Perkembangan intelektual, moral, dan emosional dalam pendidikan hanya mungkin atas dasar harga diri yang harus ditanamkan sejak dini.
Pengembangan ketiga daya kemampuan dalam pemberdayaan akan memungkinkan peserta didik menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, tanpa terseret ke dalam arus konformisme. Perkembangan dari masyarakat agraris kepada masyarakat industrial, kemudian kepada masyarakat pascaindustrial membawa berbagai perubahan orientasi hidup. Perubahan yang cepat di berbagai bidang itu, lebih-lebih karena pengaruh global, akan menghadapkan manusia kepada berbagai pilihan baru, seperti ideologi, sikap, gaya hidup, sistem nilai, keyakinan, dan lain-lain. Perubahan itu tidak bersifat deterministis, karena manusia dapat mengambil sikap terhadap perubahan tersebut. Yang tak terelakan adalah keharusan pilihan dan atas dasar kriteria apa kita menjatuhkan suatu pilihan. Maka intervensi pendidikan menjadi sangat penting. Pemberdayaan akan memampukan manusia untuk berani mengambil sikap secara kritis.
Tentu saja usaha-usaha pendidikan sebagai pemberdayaan masih harus dihadapkan kepada berbagai permasalahan. Pertama, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta menghadapkan kita pada tuntutan penyediaan kesempatan belajar bagi generasi muda dan pemenuhan berbagai kebutuhan dasar yang menyertau kebutuhan dan hak untuk pendidikan. Kedua, masalah-masalah yang berkaitan dengan pertumbuhan angkatan kerja, yang berarti kebutuhan akan kesempatan kerja yang semakin banyak. Ketiga, masalah-masalah yang berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia menghadapi berbagai persaingan global. Keempat, masalah-masalah dalam institusi pendidikan itu sendiri, seperti masalah kualitas, kurikulum, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan multikultural, dan sebagainya. Jadi orientasi pendidikan yang normatif selalu dihadapkan kepada realitas konkret, tetapi tanpa idealisme dan nilai-nilai normatif, tak mungkin kita mencapai pendidikan yang berkualitas.
D. Nilai-nilai Kemanusiaan sebagai Dasar Pendidikan
Nilai-nilai kemanusiaan yang telah disepakati bangsa Indonesia adalah nilai-nilai dasar yang dirumuskan dalam Pancasila (Widistiono, 2006:19). Karena itu, seringkali dikatakan, Pancasila itu humanistik dan universalistik. Dikatakan humanistik karena memuat nilai-nilai kemanusiaan, dan universalistik karena nilai-nilai itu bersifat mendasar, sehingga dapat berlasku bagi setiap orang. Karena itu pula pendidikan nasional harus bertumpu pada nilai-nilai Pancasila. Maka pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan Pancasila akan memiliki lima ciri, yaitu hormat terhadap keyakinan religius setiap orang, hormat terhadap martabat manusia dan hak-hak asasi, berwawasan kebangsaan, demokratis, serta menjunjung dan menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan harus mengajarkan agar peserta didik saling menghormati keyakinan religius masing-masing. Manusia dihormati karena manusia adalah ciptaan Allah yang tertinggi di antara ciptaan di dunia. Semua agama dalam berbagai versinya menganggap keluhuran martabat manusia tertinggi terletak pada kaitannya dengan Yang Transenden. Negara dan berbagai institusi termasuk institusi pendidikan harus menghormati keyakinan religius masyarakat Indonesia dan menjamin keyakinan masing-masing warga negara. Dalam masyarakat yang multikultural dan majemuk dalam hal agama, kerja sama dan persatuan untuk membangun bangsa dan negara merupakan keharusan yang mengalir dari Sila Pertama ini.
Pendidikan yang manusiawi adalah pendidikan yang mendasarkan diri pada penghormatan terhadap martabat manusia dan hak-hak asasinya yang mengalir darinya. Manusia harus diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat yang memiliki akal budi, kehendak, dan kebebasan. Karena itu, manusia tidak boleh diperalat sebagai obyek. Pendidikan bertujuan agar peserta didik dapat berkembang sebagai subyek dalam berbagai dimensi kemanusiaan. Karena itu, pelaku utama pendidikan adalah manusia itu sendiri sebagai subyek. Hak-hal asasi manusia dapat dipandang sebagai usaha untuk menjabarkan isi dari martabat manusia itu. Pendidikan sendiri merupakan hak asasi setiap orang karena melalui pendidikan ia dapat meningkatkan dan mewujudkan martabatnya sebagai manusia.
Pendidikan menyiapkan warga negara menjadi partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Di dalam nasionalisme atau faham kebangsaan terkandung kesadaran akan kesatuan sosial baru yang disebut bangsa, yang lingkupnya mengatasi kesatuan primordial yang lebih sempit yang didasarkan atas kesamaan agama, suku, budaya, bahasa. Bangsa yang menjadi kerangka acuan identitas diri. Di dalam wawasan kebangsaan itu terkandung unsur kewajiban moral untuk mengikatkan diri pada kepentingan yang lebih luas, yaitu bangsa dan negara.
Ada beberapa prinsip baru yang harus disosialisasikan lewat pendidikan: (1) prinsip kesejahteraan seluruh bangsa bukan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya; (2) keharusan untuk bekerjasama antarberbagai kelompok untuk menghindari destruksi dan untuk menciptakan kesejahteraan bersama; (3) penerimaan asas pluralisme, yang berarti memberi tempat bagi keanekaragaman dan artukulasi keanekaragaman dalam kerangka kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan merupakan institusi di mana kesetiaan dan komitmen kepada bangsa ditanamkan. Pendidikan tersebut menuntut agar pendidikan sejarah nasional diberikan secara bermakna, dengan mengaitkan masa lalu dan masa kini. Situasi masyarakat aktual di satu sisi, dan situasi global di sisi lain harus diolah dalam pendidikan, sehingga wawasan kebangsaan dapat menjadi aktual, kritis, dan terbuka. Dengan cara ini, pendidikan dapat menjadi faktor kohesi suatu bangsa.
Pendidikan tidak hanya harus mengajarkan apa itu makna demokratis, tetapi konsepsi pendidikan itu sendiri harus demokratis. Demokratis adalah suatu proses yang mengimplementasikan beberapa prinsip politik modern, yaitu kedaulatan rakyat, partisipasi, akuntabilitas, kontrol sosial, toleransi terhadap kemajemukan, persamaan kewarganegaraan dan pembatasan ruang lingkup politik. Demokratis tidak hanya merupakan sistem politik yang berdasarkan prinsip-prinsip politik itu, tetapi demokratis juga suatu budaya. Demokratis tidak akan berjalan tanpa didukung etos politik yang sesuai. Dalam pendidikan tidak hanya harus diajarkan prinsip-prinsip dari suatu sistem demokratis, tetapi juga nilai-nilai yang mendukungnya. Bagaimana warga negara di satu sisi memiliki kemandirian, sehingga ia dapat menentukan pilihan politiknya, dan di sisi lain kepekaan untuk mempertimbangkan kepentingan bersama.
Pendidikan, akhirnya, harus merupakan pendidikan bagi keadilan (education for justice) sekaligus menjadi perwujudann keadilan sosial. Kalau kita amati perkembangan manusia sepanjang sejarah, maka keadilan sosial merupakan tuntuan permanen yang diperjuangkan manusia. Manusia hanya dapat hidup layak sebagai manusia jika hak-haknya yang fundamental terpenuhi atau keadilan sosial tercapai. Semakin pendidikan bersifat etis, dalam arti hanya kelompok elite saja yang menikmati pendidikan, semakin pendidikan jauh dari keadilan sosial. Semakin pendidikan merata ke segenap lapisan masyarakat, semakin keadilan sosial terwujud dalam pendidikan. Pendidikan bagi keadilan mengimplementasikan bahwa dalam pendidikan ditanamkan rasa keadilan sosial. Dalam tahap-tahap perkembangan kesadaran moral, prinsip keadilan harus semakin menjadi pertimbangan atau motivasi dalam menentukan tindakan.
E. Budaya Pendidikan di Indonesia
Kebudayaan dalam arti luas adalah dinamika sistem nilai dalam berbagai bidang kehidupan yang berlaku untuk kurun waktu yang cukup jauh sebagai hasil dan atau pedoman manusia berperilaku. Kebudayaan dimiliki oleh masyarakat. Perbedaan kebudayaan suatu masyarakat dengan masyarakat lain terletak pada perkembangannya dalam memenuhi segala keperluan masyarakat.
Engkoswara (2001:14) menyatakan bahwa kebudayaan di Indonesia pada dasarnya memiliki karakteristik bhineka, beragam, atau pluralistik, tetapi memiliki kesamaan dengan kebudayaan negara lain yaitu pada beberapa nilai dasar yang menggambarkan satu hasil atau pedoman perilaku manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai atau kebudayaan dasar itu secara garis besar adalah:
1. Kebudayaan utama
Kebudayaan utama berkaitan dengan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa adalah merupakan mahluk universal. Manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan secara sadar atau tidak adalah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
2. Kebudayaan profesi
Manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok, dan tidak dapat melepaskan diri dari manusia lain, sehingga disebut sebagai mahluk sosial. Budaya profesi atau budaya kerja dilandasi oleh ilmu pengetahuan, teknologi dan atau seni sebagai dasar untuk mengembangkan diri dalam berbagai bidang (politik, ekonomi, hukum, sosial-kemasyarakatan, IPTEK, dan keamanan) dan untuk kemandirian sesuai profesinya.
3. Kebudayaan pribadi kreatif terpuji
Manusia adalah mahluk yang hakiki, unik, khas dan tidak ada yang sama. Ciri hakiki terletak pada kreativitas pribadi terpuji. Oleh karena itu manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Budaya ini lebih mengarah kepada budaya pribadi yaitu dalam bentuk hobi atau minat pada bidang khusus.
Organisasi pendidikan pada tingkat kelembagaan sekolah secara langsung mengelola proses pendidikan yang melibatkan berbagai komponen seperti siswa, guru, kurikulum, fasilitas dan berbagai komponen lain yang esensial yang masing-masing mempunyai peran yang berbeda tetapi saling berkaitan dalam proses belajar mengajar. Sekolah dipimpin oleh seorang kepala sekolah dan dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, sejumlah guru, guru konselor, staf administrasi dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa. Struktur sekolah sangat bervariasi, walaupun unsur-unsur esensial tetap merupakan ciri-ciri dari Suatu organisasi sekolah yang terdapat pada setiap organisasi pendidikan/sekolah dimanapun sekolah itu berada.
Organisasi pendidikan sebagai sarana membentuk manusia atau generasi penerus dalam pelaksanaan visinya akan selalu dipengaruhi oleh budaya yang ada. Organisasi pendidikan formal di Indonesia terdiri dari SD/MI, SLTP/MTs, SLTA dan Universitas. Budaya yang ada disekolah tersebut sangat bervariasi tergantung pada berbagai faktor yang mempengaruhi seperti penjelasan di atas. Sebagai contoh universitas, pimpinannya adalah Faktor. Maka secara umum dapat dikatakan yang menentukan nilai nilai budaya adalah rektor, tetapi tentunya tidak semua nilai-nilai dapat ditentukan oleh rektor. Ada nilai-nilai yang berasal dari lingkungan sekitar baik internal maupun eksternal yang mungkin mempengaruhinya.
Pada prinsipnya budaya pada organisasi pendidikan ini harus di manage dengan baik oleh para pimpinan di bidangnya, sehingga budaya ini dapat membantu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan organisasi pendidikan.
Robbins (1990: 231) menguraikan mengenai bagaimana me-manage budaya. Manajemen budaya di Indonesia diarahkan pada realisasi dan aktualisasi implementasi budaya yang berdasarkan bhineka tunggal ika. Berbeda dengan manajemen pembangunan fisik, manajemen budaya tidak diukur semata-mata pada produk, melainkan juga proses dan outcominya. Manajemen budaya harus terus me-revive, menyadarkan, membangunkan, meskipun "ideals can never be more than partially realized'.
F. Masalah Kurikulum dalam Pendekatan Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian dari kehidupan manusia dari generasi ke generasi sepanjang jaman, atau dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak terlepas dari keseluruhan hidup manusia di dalam segala aspeknya seperti politik, ekonomi, hukum, sosial, agama dan kebudayaan (Zamroni, 2000:123). Oleh karena itu pendidikan berjalan dan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban kehidupan manusia tersebut, sebagaimana pernyataan Houston, (1988:22) bahwa “The development of education throughout history parallels the development of civilizations”.
Dengan lingkungan kehidupan yang berubah dan berkembang sangat cepat, pendidikan dihadapkan kepada tantangan yang serius, seperti dalam ungkapan Houston, (1988:5) bahwa “Education is challenging and education is challenged”. Pendidikan merupakan tantangan, karena untuk mendidik dengan baik agar peserta didik mampu belajar untuk belajar (learning how to learn) dalam lingkungan yang selalu berubah dan berkembang merupakan tantangan bagi para pendidik. Sementara itu pendidikan ditantang untuk dapat mempersiapkan peserta didik dengan berbagai nilai-nilai, sikap, kemampuan dan keterampilan yang berguna bagi peranannya di masa depan.
Dengan tugas yang berorientasi pada masa depan tersebut maka menjadi suatu keharusan atau kewajiban bagi para pendidik untuk memahami masa depan agar dapat mempersiapkan peserta didik dengan bekal kemampuan yang berguna untuk menjalani kehidupan masa mendatang. Apabila para pendidik tidak mampu memahami masa depan maka besar kemungkinan pengalaman belajar atau kurikulum yang disediakan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan lebih lanjut justru akan menambah problem sosial (Hunkins, 1998:389).
Banyak pakar mengatakan bahwa belum berhasilnya pemerintah dan komponen bangsa lainnya memecahkan persoalan pendidikan yang dihadapi masyarakat diantaranya terkait dengan kurikulum pendidikan. Desain kurikulum pendidikan belum mampu memacu siswa untuk berprestasi dan belum sinkron dengan persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.
Sejauh ini banyak kalangan menilai kurikulum pendidikan /metode pembelajaran masih bersifat sangat umum dan tidak mengadopsi kearifan lokal. Padahal Negara Indonesia dengan berbagai macam budaya dan kekayaan alam yang sangat banyak memerlukan penanganan dan pengembangan yang optimal. Kurikulum sekolah di daerah nelayan, misalnya, sepatutnya tidak disamakan dengan kurikulum sekolah di daerah pertanian.
Setelah menyadari belum sinkronnya kurikulum pendidikan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat, Depdiknas mengeluarkan Peraturan Nomor 22 dan 23 tahun 2006. Dalam peraturan itu antara lain dijelaskan, guru sekolah harus menentukan kurikulum sendiri, dengan memerhatikan ciri khas, keunggulan, dan keunikan tiap siswa. Konkretnya, pemerintah akan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Secara keseluruhan, penetapan kurikulum diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Namun, upaya pemerintah itu bisa gagal jika tidak diikuti dengan solusi terhadap masalah yang mengimpit guru dan siswa. Bagi guru terkait dengan masalah inkompetensi, sedangkan bagi siswa kapabilitas rendah. Peningkatan kompetensi guru diperlukan untuk membuat bahan ajar dan meningkatkan kemampuan mengajar, sedangkan untuk siswa terkait dengan kemampuan dalam menerima bahan ajar.
Peningkatan kompetensi guru tidak saja bertalian dengan ilmu dasar, tetapi juga kearifan lokal. Jadi kearifan lokal tidak hanya diterjemahkan dengan mengajarkan bahasa daerah di sekolah, tetapi ditambah dengan ciri khas daerah itu sendiri.
Diketahui selama ini, pengetahuan tentang kearifan lokal (budaya daerah) hanya diperoleh dari generasi ke generasi tanpa ada upaya untuk pengembangan. Jika kearifan lokal dimasukkan kurikulum sekolah bisa jadi daerah tempat sekolah itu berada akan merasakan manfaatnya. Sebab dengan dimasukkannya kearifan lokal itu potensi pengembangannya akan kian terbuka lebar.
Sesunguhnya apabila tidak dimasukkannya kearifan lokal ke kurikulum sekolah akan mengancam keberlangsungan kearifan lokal itu sendiri. Keahlian penduduk membuat kapal penangkap ikan di daerah nelayan misalnya, tidak akan berkembang atau bahkan secara perlahan – lahan akan berhenti. Yang paling krusial, absennya kearifan lokal dalam kurikulum akan mengurangi minat penduduk untuk melanjutkan kearifan lokal tersebut. Salah satu contoh adalah anak seorang petani yang enggan menjadi petani. Padahal, jika anak petani itu menjadi petani dan memiliki pengetahuan dan komitmen, bisa jadi ia akan menjadi petani sukses, lebih baik daripada kondisi orang tuanya. Seyogiyanya, kurikulum di daerah nelayan mengandung aspek yang terkait dengan kehidupan nelayan, seperti membuat perahu, alat tangkap, pengawetan ikan/proses produksi, dan pemasaran.
Meski kita memiliki sekolah kejuruan dengan kurikulum spesifik, sekolah kejuruan dimaksud belum tentu ada di setiap daerah dan jumlahnya sangat terbatas.
Selanjutnya lebih jauh memasukkan aspek pengembangan ilmu dasar dan kearifan lokal dalam kurikulum sekolah akan memberi alternatif bagi lulusan sekolah melanjutkan sekolah atau bekerja
Dengan demikian, kurikulum sekolah setidaknya memuat tiga hal, pertama yang berkaitan dengan pengembangan ilmu dasar untuk keperluan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, kedua berkaitan dengan kearifan lokal untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dan ketiga, berkaitan dengan budi pekerti/ moral dan akhlak siswa. Berbagai upaya perlu dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan agar mampu mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Diharapkan, jika kearifan lokal dikembangkan tidak saja mampu menjawab persoalan bangsa, tetapi juga dapat memajukan daerah dan meningkatkan kegiatan ekonomi.
G. Pendekatan Akhlak dan Moral dalam Model Pembelajaran
Pada dasarnya, istilah akhlak menunjukkan pada sejumlah sifat tabiat yang fitri (asli) dan sejumlah sifat yang diusahakan manusia. Maka sifat fitriyah akhlak ini memiliki dua bentuk; yakni bersifat batiniyah (kejiwaan) dan (zaghiriyah) yang terwujud dalam prilaku. Oleh karena itu, baik yang ihtiyari maupun fitriyah, tergambarkan dalam prilaku seseorang. Baik buruknya prilaku seseorang seringkali dihubungkan dengan masalah moral dan pengetahuannnya tentang hukum.
Dalam proses pembangunan masyarakat muslim pemahaman dan pengamalan akhlak mutlaq diperlukan. Ada beberapa prinsip dasar akhlak yang harus menjadi pilar bagi pembangunan masyarakat muslim, yaitu:
Pertama, kebebasan dalam bertindak dengan memiliki sikap dan tanggung jawab. Prinsip akhlak ini merupakan yang paling menonjol dalam islam. Kedua, bersikap adil dan ahsan; keduanya merupakan sifat yang menghimpun sifat-sifat yang baik yang mencakup seluruh kebaikan. Oleh karena itu, setiap muslim dituntut untuk mewujudkan keadilan dalam semua ucapan dan perbuatannnya. Merealisasikan keadilan terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, berbuat adil kepada orang lain baik yang bersangkutan itu jauh darinya maupun berada dihadapannya.
Suatu budaya tertentu pasti hidup di suatu masyarakat tertentu pula. Antara masyarakat n budaya keduanya saling mengisis. Masyarakat yang bergam dan dinamis, menunjukkan budayanya pun beragam dan dinamis pula. Oleh karena itu, proses transformasi budaya yang berlangsung di masyarakat sudah barang tentu menjadi proses multi dimensional. Paling tidak, berlangsungnya transformasi budaya yang terjadi dapat dilihat dari dua sisi.
Pada satu sisi transformasi itu adalah transformasi dari lingkungan budaya yang berorientasi kepada “masyarakat kesukuan” menuju suatu lingkungan budaya yang berorientasi kepada” masyaraakat negara kebangsaan”. Pada beberapa masyarakat atau negara yang baru membebaskan diri dari penjajahan, proses transformasi ini menjadi pilihan utamanya.
Dengan memerhatikan potensi psikologis dan pedagogis manusia anugrah Allah SWT, model pendidikan islam seharusnya berorientasi kepada pandangan falsafah sebagai berikut:
1. Filosofis, memandang manusia didik adalah hamba Tuhan yang diberi kemampuan fitriah, dinamis dan sosial – religiuss serta yang psiko-fisik. Cenderung kepada penyerahan diri secara total kepada Yang Maha PenciptaNya.
2. Etimologis, Potensi berilmu pengetahuan yang berpijak pada iman dan berilmu pengetahuan untuk menegakkan iman yang bertauhid yang basyariah-dharuriah, menjadi shibghoh manusia muslim sejati berderajat mulia.
3. Pedagogis, manusia adalah makhluk yang belajar sejak dari ayunan sampai liang lahat yang proses perkembangannnya didasari nilai-nilai islami yang dialogis terhadap tuntutan Tuhan dan tuntutan perubahan sosial, lebih cenderung kepada pola hidup yang harmonis antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, serta kemampuan belajarnya disemangati oleh misi kekhalifahan di muka bumi.
Secara kurikuler model –model tersebut didisain menjadi:
1. Content, lebih difokuskan pada permasalahan sosiokultural masa kini untuk diproyeksikan ke masa depan, dengan kemampuan anak didik mengungkapkan tujuan dan nilai-nilainya yang inheren dengan tuntutan Tuhan.
2. Pendidik, bertanggung jawab terhadap penciptaan situasi komunitas yang dialogis interdependen dan terpercaya.
3. Anak didik, dalam proses belajar mengajar melakukan hubungan dialogis dengan yang lain, (guru, teman-teman sebaya dan orang dewasa, serta alam sekitar).
Pendidikan nasional suatu bangsa secara ideal diselenggarakan bukan sekedar memenuhi kebutuhan-kebutuhan untuk menunjang dan meligitimasi politik bangsa, tetapi pendidikan secara ideal berfungsi memenuhi tuntutan perubahan dunia baru. Karena itu, pendidikan harus terintegrasi dalam proses pembudayaan dan nilai-nilai keagamaan.
Semoga.

Penulis adalah guru bahasa Indonesia di SMAN 24 Bandung